KataMini

KataMini

Senin, 15 November 2010

Mengapa Sastra?


sebab awal sastra adalah dongeng, begitu pula ujungnya
--Borges

Saya teringat dengan kata-kata teman saya ketika kami berdiskusi di pojok warung Semarang. Begini kata-katanya atau lebih tepatnya pertanyaan, Nyapo koe milih sastra, gung, ora seni rupa opo seni musik? (baca: mengapa memilih sastra, gung, bukan seni rupa atau seni musik?) Pertanyaan tersebut setidaknya menggelitik saya dan membuat saya berpikir ulang, “Mengapa ya saya memilih sastra?” Terus saya jawab dengan entengnya, yo mergo aku seneng karo cerito (baca: ya, karena aku senang dengan cerita). Saya berjibaku dengan pikiran-pikiran liar. Menurut saya pertanyaan tersebut setidaknya menguatkan pilihan saya untuk terus menyelami sastra lebih dalam dan bukan sekedar berenang di permukaan air saja. Dan pertanyaan tersebut menyadarkan saya bahwa sastra memang akan terus dipandang sebelah mata oleh bidang-bidang lain bahkan bidang seni itu sendiri.
Bagi saya sastra itu unik. Ia menggunakan bahasa sebagai medium, seninya, bukan seperti warna pada seni rupa, atau nada pada seni musik. Kedua medium tersebut tak bermakna jika tidak dikomposisikan sedemikian rupa. Namun, sastra menggunakan bahasa yang sebelum digunakan sudah mempunyai arti. Sastra adalah dongeng, seperti yang diucapkan Borges, sebab awal sastra adalah dongeng, begitu pula ujungnya. Bagaimanapun sastra hanya sebatas dongeng pengantar tidur atau semacam pelepas kepenatan hidup bagi orang-orang kebanyakan. Apalah artinya sebuah dongeng yang hanya didengar sepintas lalu. Tapi, saya tetap percaya pada sastra, apapun bentuknya, apapun jenisnya, baik atau buruk, sastra akan tetap merekam segala yang tak terekam melalui dongeng-dongeng pengantar tidur. Selama orang-orang masih punya buku harian dan pulpen atau pensil yang dijual di toko buku, selama orang-orang masih punya facebook, twitter, blog, blackberry, iphone, netbook selama itu sastra akan tetap hidup.
Dalam KataMini edisi ketiga, dongeng-dongeng kembali ditulis. Dongeng tentang teori sastra ditulis Meidy Benjamin Kautsar. Ia menulis, atau lebih tepatnya menyarikan, dongeng yang sama ditulis oleh Rene Wellek dan Austin Warren mengenai teori kesusastraan. Dongeng kedua ditulis oleh Amri Mahbub Alfathon mengenai androginitas dalam karya sastra. Tulisannya merupakan penafsiran terhadap dongeng lainnya. Dongeng ketiga, dongeng tentang Petrus yang ditulis oleh Aditya Rn. Petrus yang telah lama hilang kembali dihadirkan dalam narasi pendek dan padat. Dongeng keempat, orbituari senja. Lagi-lagi senja menjadi kata yang paling digemari oleh pendongeng karena sering dipakai oleh penyair, semenjak Amir Hamzah hingga sekarang, kata senja seakan mempunyai kadar puitis tersendiri. Dongeng keempat, catatan 4 November, catatan tentang bison yang bisa terbang. Impian Kinanti, mungkin ingin melihat bison terbang seperti yang ada di serial televisi Avatar Aang. Dongeng kelima, sandiwara-sandiwara kecil yang ditulis oleh Rebecca Kezia. Dongeng keenam merupakan tinjauan buku dongeng pula. Keenam orang tersebut bagi saya adalah pendongeng dan tentu saja mereka suka dongeng seperti saya.
Sebagai pengantar dongeng, saya hanya ingin mengucapkan selamat menikmati dongeng-dongeng dan siapkan beberapa kertas dan pena untuk menulis dongeng lagi dan lagi.
Depok, November 2010
Agung Dwi Ertato

Daftar Isi

 


Menyoal Sastra dan Teori Sastra


Oleh Meidy Benjamin Kautsar


Dalam mempelajari suatu periode, aliran, atau kesusastraan tertentu, seorang ilmuwan sastra pasti akan mencari kekhususan, ciri khas, dan kualitas tertentu yang membedakannya dengan periode, aliran, atau kesusastraan nasional lain.
     Sastra adalah sebuah karya seni. Studi yang mempelajari sastra disebut studi sastra. Namun, sastra dan studi sastra pernah dikaburkan batasnya. Ada pendapat yang mengatakan bahwa penelaah karya sastra harus terlebih dahulu membuat karya sastra yang sejenis dengan karya sastra yang akan ditelaahnya. Di lain sisi, penyair Inggris abad ke-19, Walter Pater, menawarkan jalan keluar dengan second creation (penciptaan ulang). Alih-alih menelaah dengan bahasa ilmiah dan rasional, Walter Pater “menelaah” lukisan Mona Lisa dengan cara membuat puisinya. Ada lagi kritikus Inggris sezaman Pater, John Addington Symonds, yang menelaah karya sastra dengan bahasa yang berbunga-bunga. Pendapat lain, sastra tidak bisa ditelaah sama sekali dan hanya bisa diapresiasi. Namun, dikotomi antara telaah dan apresiasi masih belum jelas dan tidak menjawab bagaimana seharusnya studi sastra bisa memiliki kekhasan sastra dan sistematis.
     Mendekati karya sastra, sebagai karya seni, melalui pendekatan ilmiah adalah masalah utamanya. Para teoretikus pernah mencoba menggunakan metode telaah ilmu alam untuk menelaah ilmu sastra. Namun, banyak yang mengaku gagal. Sebenarnya, ada suatu kawasan ketika metode ilmu alam dan sastra saling tumpang tindih dan bersinggungan. Metode telaah dasar secara ilmiah semacam deduksi, induksi, sintesis, dan analisis adalah contohnya. Meski demikian, tetap saja keilmiahan telaah karya sastra dan ilmu alam lebih sering berbeda. Pada dasarnya, keindividualitasan dalam menelaah karya sastra lebih penting dipelajari. Pencarian hukum-hukum umum dalam kesusastraan sering gagal, berbeda sekali dengan fisika yang sukses dengan hukum umumnya mengenai cahaya, air, gaya, dan sebagainya. Ada dua cara menelaah karya sastra, yang pertama adalah dengan mengikuti metode-metode ilmiah dan mengumpulkan fakta-fakta secara umum. Cara yang kedua adalah menekankan subjektivitas dan individualitas serta keunikan karya sastra. Cara kedua ini akan membawa penelaah ke dalam subjektivitas total, murni intuisi dan rentan hanya berupa cerminan emosional. Dan usaha menguraikan ciri-ciri khas karya sastra hanya dapat dilakukan secara universal jika didasarkan pada suatu teori sastra—suatu hal yang sangat dibutuhkan oleh studi sastra saat ini.
Fragmen 1
Kapal laut itu mengapung malas di perairan licin bagaikan ubur-ubur mengambang. Dalam irisan langit sempit di antara gunung-gunung, sebuah pesawat terbang berputar-putar. Dengungnya yang seperti serangga marah mengesalkan telinga. Senja hari musim panas baru sepertiga berlalu…
     Mengapa karya sastra seperti di atas bisa lahir? Ini tentu penyebabnya adalah karena Sang Pengarang menciptakannya. Kutipan di atas berasal dari prolog cerpen Marguerite Yourcenar dengan judul “Senyum Marko”. Hubungan Yourcenar dengan karya tersebut bisa ditinjau dengan salah satu cara, yaitu memahami biografi Yourcenar. Dalam hubungannya dengan telaah sastra, cara memahami sebuah karya sastra dengan cara memahami biografi pengarangnya sebenarnya adalah cara atau metode yang paling tua. Karya sastra tetap menjadi bahan kajian yang utama dan bukan pengarangnya. Oleh karena itu, sudut pandang yang digunakan dalam penggunaan metode biografi adalah dengan menemukan sejauh mana biografi itu memberi masukan terhadap penciptaan karya sastra.
     Kerepotan penelaah yang menggunakan metode biografi adalah penyusunan sejarah, yang berarti mencari saksi terpercaya, mempelajari autobiografi pengarang, dan menginterpretasikan surat atau dokumen yang berhubungan dengan pengarang. Dengan ini, penelaah bisa mempelajari bagaimana pengarang melakukan proses kreatifnya. Selain itu, penelaah juga bisa mengetahui perjalanan intelektual, moral, dan emosi pengarang. Tetapi cara semacam ini rentan terdepak dari batas studi sastra, sebab masalah-masalah di atas sering menjadi lemah dari kekuataannya sebagai masalah sastra. Marguerite Yourcenar adalah pengarang Prancis yang lahir tahun 1903 dan ia menjadi pengarang yang berpengaruh terhadap perkembangan sastra Prancis modern. Jika penelaah ingin memaknai karya Yourcenar dengan metode biografi, maka ada dua pertanyaan yang mesti dijawabnya. Pertama, sekuat apa penelaah dapat menjadikan biografi yang ditulisnya menjadi senjata yang dapat membedah karya Yourcenar? Kedua, sejauh mana biografi itu penting dan relevan untuk memahami karya Yourcenar?
 Fragmen 2, Sastra dan Metode Biografi
 Mataku masih memiliki pandangan hijau keemas-emasan. Bentrokan antara hutan dan dunia kota berlangsung dengan keras. Burung kasuari, kanguru, rumah-rumah rayap yang menggunung di hutan mulai tumbang, menjadi pajangan orang-orang kota.
     Pemakaian metode biografi memiliki kesulitannya sendiri jika karya sastra yang ingin ditelaah dikarang oleh pengarang-pengarang pada zaman yang terlalu lampau (misalnya zaman Renaisans). Sulit menemukan dokumen, surat, ataupun buku harian yang berhubungan dengan pengarang-pengarang berjarak ratusan tahun sebelum kita. Akibatnya, metode biografi ini sering keliru, diragukan, atau tidak berarti. Misalnya, metode biografi terhadap Shakespeare menghasilkan pandangan umum bahwa Shakespeare mengalami depresi ketika menulis drama tragedi dan berada dalam keadaan gembira saat menulis drama komedi. Dalam dunia studi sastra, ini sangat lemah diterima sebagai suatu fakta tentang Shakespeare. Berbeda jika yang ditelaah adalah karya-karya pengarang sejak abad ke-20. Misalnya, penelaah akan banyak mendapat bukti-bukti yang mendukung penulisan biografinya jika yang ia bahas adalah Afrizal Malna, seorang sastrawan yang karyanya saya kutip di atas.
     Perbedaan zaman Sang Pengarang tentu sangat menentukan sejauh mana penelaah yang menggunakan metode biografi dapat bekerja secara maksimal. Misalnya, karena merasa terkenal, Goethe, Wordsworth, Pope, Milton, Byron, dan sejumlah sastrawan lainnya malah sengaja meninggalkan tulisan autobiografinya, yang sepertinya ditulis untuk menarik perhatian penelaah dan publik. Terlebih, pada masa Neoklasik dan Romantik, para sastrawan memang sudah peka terhadap hal ini dan lebih “mengerti” posisi mereka. Istilah Goethe yang terkenal adalah fragment of a great confenssions, sehingga karya sastra mereka sendirilah “autobiografi”-nya. Tetapi, karya sastra tetap karya sastra, dan bukan bentuk lain dari catatan harian atau memoar. Pemahaman terhadap autobiografi tidak serta merta merupakan sontekan atau parafrasa dari sebuah karya sastra. Misalnya, sifat autobiografis dalam Prelude karya Wordsworth tidak sama dengan kenyataan hidupnya, dan ini telah dibuktikan oleh G.W Meyer.
Fragmen 3, Sastra dan Psikologi
Ketika itu angin telah mati dan dingin akan lalu
Ketika itu kumandang hilang dalam diriku
Tetapi mengapa kita bisa menerkanya, seketika
bahwa Kasih turun merendah, dan kita hanya gema
-Goenawan Mohamad, bait terakhir “Malam yang Surut Kelabu”
     Pada tahun 1918, T.S. Eliot menulis: ‘seniman lebih primitif sekaligus lebih beradab daripada orang-orang sezamannya’. Baginya, seniman adalah seseorang yang mempertahankan masa kanak-kanaknya dan tetap melangkah menjadi seseorang di masa depan. Pada ranah psikologi sastra, apa yang dilakukan Eliot ini adalah pendekatan psikologi kepada sosok pengarang, atau dalam hal ini seniman. Masih ada lagi tiga pengertian studi psikologi sastra. Ketiga pengertian tersebut adalah studi psikologi terhadap pembaca, studi psikologi terhadap penerapan nilai-nilai psikologi dalam karya sastra, dan studi psikologi terhadap proses kreatif pengarang. Pada “Fragmen 1”, mari kita bahas psikologi pengarang—secara umum.
/1/
 Pada zaman Yunani, kejeniusan seorang seniman dianggap sebagai ‘kegilaan’. Penyair disebut sebagai orang yang ‘kesurupan’. Rupanya sebutan ‘kesurupan’ atau ‘kegilaan’ itu disepakati oleh Eliot, hanya saja ia menyampaikan dengan lebih ilmiah. Eliot mengatakan bahwa ‘mentalitas pra-logika tetap ada dalam diri manusia beradab, tapi hanya dapat dijangkau oleh atau melalui penyair’. Lain halnya dengan Sigmund Freud. Alih-alih ‘kesurupan’, Freud lebih suka menyebut seniman sebagai orang yang sakit syaraf (neurotik). Jadi, jika kita Freudianisme, kita bisa mengatakan bahwa Goenawan Mohamad menulis puisi di atas dalam keadaan sakit syaraf. Tetapi banyak yang mengkritik pendapat Freud dan akhirnya berhenti membuat psikoanalisa. Kesimpulan pendapat Freud: ‘seniman adalah seorang pelamun, mengubah kenyataan-kenyataan pada dunia seni tanpa harus mengambil jalan berputar untuk mengubah kenyataan pada dunia nyata’. Pendapat seperti ini malah mengaburkan batas antara seniman dan filsuf.
     Dulu pernah ada suatu konsepsi—sebenarnya semacam mitos, dan lucu sekali orang Barat percaya dengan mitos semacam ini—yang mengatakan bahwa bakat seniman atau penyair bisa ada karena pertukaran dengan sesuatu yang ada pada dirinya. Maksudnya, seperti Dewi Musik (Muse) yang mengambil penglihatan Demodecos dan Teresias untuk kemudian diganti dengan bakat musik dan bakat meramal. Kesimpulannya, Tuhan sengaja menciptakan Alexander Pope bungkuk, Marcel Proust sakit asma, Lord Byron berkaki melengkung, dan John Keats bertubuh pendek untuk kemudian menggantikannya dengan bakat menulis dan menyair. Terlepas dari mitos tersebut, kekurangan-kekurangan yang dialami oleh para pengarang pada dasarnya bisa menjadi suatu dorongan, inspirasi, atau motivasi dalam menulis.
     Dengan kalimat lain, seorang pengarang dapat menulis karena suatu gangguan emosi. Namun pendapat ini tidak selamanya benar. Lalu apa bedanya pengarang dengan para pemikir kalau suatu kekurangan dalam dirinya menjadi dorongan gangguan emosi? Lagipula, setiap manusia pasti memiliki kekurangan. Mari kita kembali membahas ‘sakit-syaraf’-nya Freud: Dickens mengaku pernah melihat dan mendengar tokoh-tokoh ciptaannya. Tokoh-tokoh itu tidak hanya sebuah bayangan, sebab mereka mampu mengambil alih kontrol atas cerita dan membelokkan rencana pengarang semula. Daripada mengatakan Dickens sakit syaraf—karena terlalu sadis—kita masih bisa mengatakan bahwa gejala Dickens ini adalah ‘merasakan dan melihat pikiran-pikirannya sendiri’, dikemukakan oleh Erich Jaensch. Bagi Jaensch, pengarang memiliki kemampuan yang dimiliki oleh anak-anak, yaitu membayangkan hal-hal eidetic (bayangan bersifat indrawi, bukan berdasarkan tiruan atau ingatan terhadap objek tertentu).
     Barangkali kita berpendapat bahwa pengarang adalah orang yang introvert, karena berbicara dengan kebisuan tulisan, tetapi mari baca analisis seorang psikolog Eropa bernama Carl Jung. Di luar dugaan, Jung tidak menggolongkan pengarang dalam kategori introvert (lebih lengkapnya introvert-intuitif). Baginya, pengarang tidak selama-lamanya menunjukkan dirinya dalam sebuah tulisan, sebab pengarang bisa saja menulis dengan karakter tulisan yang bukan dirinya (antitipe dari kepribadiannya). Ada lagi orang sejenis Jung, namanya Kretschmer, orang Jerman. Ia mengatakan, dengan metafora, bahwa penyair adalah seniman kurus, lemah, dan mudah diserang Schizophrenia, sedangkan novelis adalah seniman gemuk, pendek, dan tidak stabil emosinya.
     Psikologi pengarang menciptakan penggolongan pengarang dari sudut pandang yang berbeda dan menarik. Ada pendapat bahwa seniman terbagi atas dua kategori: ‘kesurupan’ dan ‘pengrajin’. Penyair gelap, surealis, dan ekspresionis adalah contoh penyair-penyair dengan kategori ‘kesurupan’, menulis dengan mengedepankan emosi, spontan, dan meramal-ramalkan sesuatu. Sedangkan penyair Renaisans dan Neoklasik masuk kategori penyair ‘pengrajin’, menulis dengan mengedepankan ketelitian, keseriusan, dan pertanggungjawaban kata demi kata. Berbeda dengan psikolog asal Prancis, Ribot, yang membedakan dua kategori pengarang: ‘plastis’ yang berarti pengarang dengan pencitraan visual dan pengamatan dunia luar, dan ‘diffluent’ yang berarti pengarang dengan imajinasi, emosi, dan perasaan yang didorong oleh stimmung yang ada di dalam dirinya. Nah, jadi Anda masuk kategori mana?
 /2/ 
Shimamura yang selalu mudah terbawa lamunan tak bisa percaya bahwa cermin lainnya yang bersalju adalah buatan manusia. Baginya mereka adalah bagian dari alam, dan bagian dari dunia yang jauh. 
                -Petikan Novel Snow Country karya Yasunari Kawabata
Dalam fragmen ini akan dibahas secara khusus pendekatan psikologi berdasarkan proses kreatif sang pengarang. ‘Proses kreatif’ berarti proses penciptaan: meliputi teknik, cara, tingkah laku, dan kebiasaan pengarang dalam menciptakan sebuah karya. Ada sejumlah pengarang yang proses kreatifnya sangat unik. Schiller mengaku harus menaruh apel busuk di atas meja kerjanya sebelum menulis sebuah cerita. Balzac memakai baju biarawan sebelum menulis. Sementara Proust dan Mark Twain mempunyai kebiasaan menulis sambil berbaring di ranjang. Milton mengaku hanya lancar menulis mulai pertengahan musim gugur sampai pada musim semi. 
     Penciptaan tokoh-tokoh dalam sebuah karya pun memiliki prosesnya. Tokoh-tokoh tersebut dapat berasal dari tokoh karya sastra yang sudah ada, orang-orang yang diamati pengarang, atau diri pengarang sendiri. Sulit menciptakan tokoh yang meyakinkan jika hanya berasal dari pengamatan terhadap orang-orang di sekitar. Maka dari itu, percampuran proses penciptaan tokoh sangat penting. Tokoh-tokoh ciptaan Goethe, seperti Faust, Mephistopheles, Werther, dan Wilhelm Meister dianggap merupakan proyeksi pribadi Goethe sendiri. Novelis pria yang ingin menciptakan tokoh wanita, atau sebaliknya, juga tidak mesti mengandalkan pengamatan. Flaubert mengatakan “Madame Bovary, C’est moi.” Pribadi pengarang sangat memiliki potensi untuk menjadi tokoh yang hidup. Semakin banyak tokoh, semakin tidak jelas sosok penulisnya. Shakespeare hilang sama sekali identitasnya dalam karya-karyanya. Tidak ada satu pun tokoh yang dapat merepresentasikan pribadi Shakespeare yang sebenarnya. John Keats berpendapat:
Penyair adalah segala sesuatu dan sekaligus bukan sesuatu. Seorang penyair adalah sesuatu yang paling tidak puitis di jagat ini, sebab ia tidak memiliki identitas—ia terus-menerus menciptakan dan mengisi jasad lain.
     Selain itu, ada penelaah yang berusaha mempelajari tulisan-tulisan yang terbuang. Bagian-bagian yang dibuang atau tidak jadi dipakai oleh pengarang bisa membantu kita menemukan keretakan, ketidakteraturan, perubahan, distorsi, dan lapisan-lapisan yang berbeda dalam sebuah karya. Namun, masalah genetik seperti ini sebetulnya berada di luar bidang sastra dan tidak dapat menggantikan analisis dan penilaian atas karya itu sendiri.
 /3/ 
Pada fragmen terakhir ini dibahas masalah psikologi dalam karya sastra itu sendiri. Pengarang tidak mesti menciptakan tokoh yang secara psikologi benar. Sebab, kebenaran psikologi bisa jadi tidak artistik, dan tidak penting untuk dicapai. Lisensia Psikologia: pengarang berhak menyajikan situasi-situasi yang tidak masuk akal dan fantastis—karena memang begitulah sebuah karya sastra, sebuah karya seni. Banyak karya yang menyimpang dari standar psikologi. Bahkan dalan tuntutan menciptakan realism sosial, tuntutan kebenaran psikologi tetap merupakan tuntutan yang tidak absah. Tetap saja, pada kasus-kasus tertentu kesusuaian psikologi menciptakan karya yang sinambung dan koheren, namun itu tidak perlu dicapai dengan pengetahuan psikologi yang sistematis dan penuh kesadaran.
     Bagi seniman, kepekaan psikologi tentu sangat penting dalam membantu menciptakan tokoh agar semakin nyata. Dalam karya sastra, kebenaran psikologi akan menjadi berarti kalau ia menambah nilai artistik dan kompleksitas sastra. Namun, sejumlah pengarang sering mendapat pujian karena dianggap sangat mahir dalam menciptakan kebenaran psikologi suatu tokoh. Pengarang memang pasti menganut nilai-nilai psikologi tanpa sadar, dan beberapa pengarang lainnya malah sengaja mempelajari nilai-nilai psikologi dengan lebih dalam demi kemajuan karyanya. Tapi: Yang ditonjolkan di dalam sebuah karya bukanlah motivasi psikologi yang realistis, melainkan peristiwa-peristiwa yang mencolok.
 Fragmen 4, Sastra dan Filsafat
Pemikiran dalam puisi biasanya basi dan sering salah, dan tidak ada orang di atas enam belas tahun yang menganggap bahwa puisi bernilai karena isinya.
                -Petikan ceramah George Boas, Philosophy and Poetry
Memang benar, banyak puisi terkenal karena filsafatnya, ternyata cuma berbicara tentang hal-hal yang umum seperti kefanaan hidup dan permainan nasib. Padahal hal itu sudah kita ketahui bersama-sama, dan sudah dibahas dari sejak zaman dahulu kala. Penyair, dalam hal ini, hanya mempercantik dasar filsafat yang sudah kita pahami dengan kata-kata puitik. Browning yang dianggap luar biasa, ternyata hanya menulis kata-kata bijaksana dengan versi yang lebih modern dari versi kuno. Penulis sekaliber Shakespeare dan Dante saja, bagi T.S Eliot, tidak banyak membuat pemikiran yang mendalam. Barangkali ada benarnya juga kalau banyak yang melebih-lebihkan kadar nilai dalam suatu karya. Bagaimana juga, karya sastra sering dipandang sebagai karya filsafat. Hal ini terjadi karena banyak pengarang yang juga adalah seorang filsuf, sehingga ia memahami kondisi dan paham-paham yang sedang berlaku pada masanya. Albert Camus, seorang sastrawan-filsuf dari Prancis, bahkan berpendapat bahwa jika seseorang ingin menjadi filsuf, maka ia sebaiknya membuat sebuah novel.
     Kaitan antara sastra dan pemikiran mau tidak mau—meski bukan satu-satunya cara—juga mengaitkan antara sastra dengan filsafat. Ada kalanya karya sastra besar yang bertolak dari pandangan filosofis yang dominan pada masanya, seperti filsuf-filsuf Romantik par excellence. Ada kalanya karya sastra menjadikan filsafat sebagai pondasi utama karyanya. Tetapi, karya sastra yang baik bukan lantas adalah karya sastra yang memiliki nilai filsafat. Terlalu banyak nilai filsafat justru akan membebani nilai artistik sebuah karya sastra, seperti yang terjadi dalam karya-karya Dostoyevsky. Croce berpendapat bahwa:
 Saat puisi menjadi lebih superior dari apa yang bisa dilakukan puisi, bisa dikatakan bahwa puisi itu superior bagi puisi itu sendiri, kehilangan kedudukannya sebagai puisi, dan justru puisi itu menjadi inferior, rendah mutunya, karena puisi itu kehilangan nilai puitisnya.
     Kesimpulannya adalah bahwa puisi bukan pengganti filsafat. Puisi dan filsafat memiliki sejarah dan dialektikanya sendiri, serta memiliki aliran dan gerakannya sendiri. Menyamakan fungsi filsafat dan fungsi puisi—karena masing-masing memiliki fungsinya sendiri—hanya akan menjerumuskan kita ke dalam pertanyaan-pertanyaan yang keliru bagi studi sastra. Puisi memiliki tujuan dan alasan keberadaannya sendiri. Puisi yang berisi pemikiran—seperti puisi lainnya—hendaknya tidak dinilai semata-mata karena pemikirannya, tetapi dari kesatuan dan intensitas artistiknya.***

Androginitas pada "Aku Rahwana dan Kau Sinta"


Oleh Amri Mahbub Al-Fathon
               
Secara umum dimensi feminin dan maskulin selalu dikaitkan dengan keyakinan yang diterapkan pada gender, yaitu laki-laki dan perempuan[1]. Dimensi ini dapat pula dikaitkan dengan pandangan yang dikonstruksi oleh kebanyakan orang tentang perempuan atau laki-laki. Konstruksi tentang sifat dan ciri-ciri yang dianggap mewakili laki-laki dan perempuan; konstruksi tentang tingkah laku yang dianggap mewakili kaum laki-laki dan wanita, dan kelompok gender tersebut; juga tentang konstruksi mengenai peran-peran yang dianggap cocok untuk mewakili kelompok laki-laki atau perempuan. Konstruksi umum (masyarakat) mengatakan bahwa ciri sifat dan peran yang dianggap sesuai untuk laki-laki adalah ciri sifat dan peran-peran maskulin, sedangkan untuk perempuan dianggap lebih pas untuk perang-peran, ciri dan sifat feminin.
    Dalam dunia psikologi, gambaran tentang ciri sifat maupun peran laki-laki dan perempuan tersebut sering dikenal dengan stereotip gender[2]. Mengutip pernyataan Christina S.Handayani di dalam Kuasa Wanita Jawa (2004), peran gender (gender roles) adalah apa yang diharapkan, ditentukan, atau dilarang bagi satu jenis kelamin tertentu. Jika stereotip gender terdiri atas keyakinan tentang ciri dan sifat dan karakteristik psikologis yang tepat untuk laki-laki atau perempuan, maka peran gender didefinisikan  sebagai perilaku yang akan terekspresi dalam peran sosial yang dimainkannya.
    S.L Bem dalam Bem Sex-Role Inventory (yang kemudian disebut BSRI) menguraikan lebih lanjut tentang dimensi feminitas dan maskulinitas. Dimensi feminitas biasanya mencakup ciri-ciri sifat berikut:
    Penuh kasih sayang; menaruh simpati/perhatian kepada orang lain; tidak memikirkan diri sendiri; penuh pengertian; mudah iba/kasihan; pendengar yang baik; hangat dalam pergaulan; berhati lembut; senang terhadap anak-anak; lemah lembut; mengalah; malu; merasa senang jika dirayu; berbicara dengan suara tidak keras; mudah terpengaruh; polos/naif; sopan; dan bersifat kewanitaan.

     Sedangkan dimensi maskulinitas mencakup beberapa ciri dan sifat sebagai berikut:
Mempertahankan pendapat/keyakinan sendiri; berjiwa bebas/tidak terganggu pendapat orang lain; berkepribadian kuat; penuh kekuatan (fisik); mampu memimpin atau punya jiwa kepemimpinan; berani mengambil risiko; suka mendominasi atau menguasai; punya pendirian atau berani bersikap; agresif; berpikir analitis atau melihat hubungan sebab-akibat; mudah membuat keputusan; mandiri; egois atau mementingkan diri sendiri; bersifat kelelaki-lakian; berani bersaing atau berkompetisi; dan bersikap/bertindak sebagai pemimpin.

     Berdasarkan penelitian tentang struktur otak manusia ditemukan bahwa otak bagian kanan mengatur pikiran yang bersifat rasional (selama ini laki-laki dikenal dengan kemampuan rasionalnya: maskulinitas), sedangkan otak bagian kiri mengatur kemampuan emosional (mengacu pada ciri dan sifat feminitas)[3]. Jadi di sini terjadi dialektika dalam entitas tunggal; menggambarkan pemusatan dan penyatuan sehingga pikiran manusia itu mengandung unsur feminin sekaligus maskulin. Hal ini dijelaskan dalam konsep androgini.
     Berkaitan dengan tersebut. Dalam proses penciptaan karya sastra, baik itu prosa dan puisi, pengarang tak bisa melepaskan dari unsur kedua otak manusia (kanan dan kiri). Bertolak dari hal-hal di atas, saya bermaksud menghubungkan sebuah karya sastra, dalam hal ini puisi karya Agung Dwi Ertato (selanjutnya disebut A.D.E) yang bertajuk “Aku Rahwana dan Kau Sinta”, yang terdapat dalam antologi puisi Jalan Pulang (2010), dengan konsep androginitas.
     Dalam puisinya, A.D.E, baik sadar atau tidak, menimbulkan konsep androginitas yang saya jelaskan sebelumnya. Karya tersebut merepresentasikan masing-masing unsur feminitas dan maskulinitas di dalamnya.
    Dimulai dari fragmen pertama, pada bait ketiga dan keempat:
                “bolehkah aku berteduh?”

                “tentu saja, kau bisa memakai perapian itu
                 untuk menghangatkan
                 tubuhmu”

     Percakapan yang terjadi antara Rahwana dan Sinta tersebut secara tak langsung menelurkan keluhuran budi, penuh kasih sayang, menaruh perhatian kepada orang lain, mudah iba dan kasihan, berhati lembut. Percakapan tersebut tidak semerta-merta terjadi, tetapi ada sesuatu yang melatarbelakanginya.
                /1/
                ada hujan yang tibatiba datang
                tanah membusungkan dadanya
                menangkap satupersatu hujan

                di antara hujan ada kau
                aku berada pada sekian tanah
                kau datang mengetukngetuk
                rumahku
                dengan tibatiba
                kau buka pintu
                --hujan semakin menderuderu
                tubuhmu basah peluh
               
     Dalam hal ini, Rahwana[4], sesosok tokoh yang digambarkan memiliki kekejaman, jahat, beringas, dan sewenang-wenang. Di tangan A.D.E, menjelma menjadi sesosok raksasa yang memiliki ciri dan sifat feminin. Mungkin A.D.E hanya meminjam karakter tersebut dari epos Ramayana yang berasal dari India, dan bermaksud menggambarkan bahwa Rahwana itu sebenarnya tak begitu adanya. Rahwana juga digambarkan memiliki sifat-sifat welas asih dan penuh kasih sayang.
     Tak hanya pada fragmen pertama, sifat feminin yang dimiliki oleh Rahwana juga muncul pada fragmen kedua, bait ketiga,
                “kembalilah pada rama
                hujan tak lagi turun
                aku takut kelak….”

Sifat mengalah yang ditunjukkan Rahwana yang menyuruh Sinta untuk pulang kepada Rama pada bait ini. Seperti yang saya sebutkan pada paragraf sebelumnya, mengutip pedapat S.L Bem bahwa mengalah ialah salah satu sifat feminin. Pada fragmen kedua, digambarkan terjadi pergolakan batin Rahwana yang sangat mencintai Sinta, yang saat itu dituliskan sedang berkunjung ke kediamannya. Namun Rahwana harus menyuruh (baca: mengalah) Sinta pulang ke Rama karena hujan sudah reda.
                /2/
                kau sinta
                aku rahwana

                dua senja telah berlalu
                hujan sudah reda
                --hanya serintik
                yang kadang turun

     Hujan dan senja digambarkan oleh A.D.E sebagai simbol kesedihan yang kehalusan rasa dan cinta yang dirasakan oleh Rahwana kepada Sinta.
                senja telah datang
                untuk ketujuh kalinya               
                merah dan menyemburat
                merasuk ke dalam
                celahcelah rumahku (fragmen kedua, bait kelima).

     Pada fragmen ketiga, rasa kasih sayang, sikap memperhatikan orang lain dan memikirkan diri sendiri pun yang terstimulus ditunjukkan oleh tokoh Rahwana.
                “aku rahwana, kau sinta
                biarlah aku dilalap senja palsu
                kembalilah pada rama-mu”
                bisikku lirih pada sinta (fragmen ketiga, bait ketujuh).

    Kesimpulan dari pembacaan saya kepada karya “Aku Rahwana dan Kau Sinta” karya A.D.E adalah: Terjadi sifat androginitas pada tokoh Rahwana. Tokoh Rahwana yang digambarkan pada epos Ramayana sebagai sesosok raksasa yang bengis dan kejam; penuh kekuatan fisik; mempunyai kekuatan memimpin; suka mendominasi dan menguasai; egois dan mementingkan diri sendiri (sifat maskulinitas), ternyata digambarkan oleh A.D.E juga memiliki ciri dan sifat feminitas (penuh kasih sayang; menaruh simpati/perhatian kepada orang lain; tidak memikirkan diri sendiri; penuh pengertian; mudah iba/kasihan; pendengar yang baik; lemah lembut; mengalah; sopan; dan bersifat kewanitaan).
      Selain itu terjadi hubungan intertekstual yang dituliskan A.D.E di dalam karyanya yang berjudul “Aku Rahwana dan Kau Sinta”. Puisi A.D.E ini seakan-akan menggiring saya (atau para pembaca) kepada epos Ramayana yang berasal dari India. Hal itu, dinyatakan sebagai fenomena intertekstual, sebagaimana dikatakan oleh Kristeva (dalam Ratna, 2006: 178), bahwa setiap teks merupakan mosaik kutipan yang berasal dari semestaan anonim. Setiap teks bisa menuntun pembacanya ke teks-teks lain sesuai dengan pengalaman pembaca. Teks-teks itu berhubungan, tanpa dibatasi dimensi ruang dan waktu[5].


[1] Christina S. Handayani, 2004: 160
[2] Istilah sterotip gender digunakan untuk menguraikan aspek sosiologis, antropologis, atau kultural dari peran maskulin versus feminin.
[3] D. Goleman, 1998: 17.
[4] Sesosok tokoh raksasa dalam epos Ramayana.
[5] Aldi Aditya. 2009. “Mitos dalam Cerpen-cerpen Eka Kurniawan yang Terangkum dalam Gelak Sedih: Sebuah Tinjauan Intertekstual”. Skripsi. Jakarta: Program Studi Sastra Indonesia, Universitas Indonesia.