KataMini

KataMini

Kamis, 07 Juli 2011

Gegap Gempita Membentuk Tubuh Manusia Indonesia

I
Manusia Indonesia seutuhnya lahir sebagai akibat dari proklamasi kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945. Namun embrio dari manusia Indonesia lahir ketika Sumpah Pemuda dengan tiga sila bertanah air, berbangsa dan berbahasa satu Indonesia resmi didengungkan. Setiap struktur masyarakat suatu zaman mempunyai konsepsi tersendiri mengenai seni termasuk sastra. Dalam perkembangan karya sastra Indonesia paska kemerdekaan, manusia Indonesia digambarkan sebagai seorang manusia yang mempunyai jiwa revolusioner melawan penjajahan. Hal tersebut dikarenakan pada waktu itu semangat sebagai seorang manusia yang bebas menentukan hidupnya begitu terasa indah. Semangat revolusi dalam jiwa manusia Indonesia bagitu membara seperti terlihat pada karya-karya angkatan 45 dan surat kepercayaan seniman gelanggang. Dalam surat kepercayaan seniman gelanggang disebutkan bahwa manusia Indonesia adalah ahli waris yang sah dari kebudayaan dunia yang selanjutnya diteruskan dengan cara manusia Indonesia pada masa revolusi. Pada surat kepercayaan tersebut disebutkan bahwa revolusi Indonesia belum selesai sehingga dapat terlihat bahwa manusia dalam surat ini masih membentuk tubuhnya sendiri. Setiap kelas yang berkuasa sudah tentu menciptakan budayanya sendiri, oleh karena itu kelas tersebut juga menciptakan seni mereka sendiri tidak terkecuali kesusastraan.
            Di dalam antologi cerita pendek Markassastra 2011 ini terdapat sepuluh cerita pendek yang mewakili manusia Indonesia dari berbagai sudut pandang. Para penulis cerita pendek tersebut tentunya dengan jeli menganalisa dan memahami kondisi manusia Indonesia pada masa kini. Sudah jelas disebutkan di awal melalui surat kepercayaan Gelanggang bahwa manusia Indonesia masih membentuk tubuhnya sendiri.  Trotsky dalam The Social Roots and the Social Function of Literature menjelaskan bahwa karya sastra bukanlah suatu elemen kebendaan yang mampu merawat dirinya sendiri. Karya sastra merupakan fungsi sosial manusia yang terikat pada pola hidup dan lingkungannya. Bisa dikatakan jika titik penting pertemuan antara karya sastra, penulis dan pembaca terletak pada keterpaduan penyampaian wacana seorang penulis karya dengan kematangan penguasaan olah bahasa yang dapat memberikan aspek hiburan sekaligus pengembangan diri bagi pembaca karya. Dalam antalogi cerpen markasastra 2011 terpilih sepuluh cerita pendek yang kurang lebih dapat mewakili hal-hal yang telah dijelaskan di atas.
II
            Dalam kesempatan ini terpilih sepuluh cerita pendek yang mempunyai beragam latar belakang sudut pandang penyampaian wacana. Suara dalam Amplop merupakan sebuah cerita pendek yang paling unik daripada cerita-cerita lainnya. Hal tersebut mengacu kepada benda-benda seperti amplop dan tas yang menentukan alam pikiran manusia.
“Asisten sulap amatir, Kiyé, mendengar suara tangis dari dalam tas, saat jarum aneh menusuk-nusuk dada kirinya... Dan suara tangis itu makin mendaraskan kesedihannya yang paling dalam dengan irama paling sederhana namun tetap terasa yang paling memilukan di antara jerit hujan yang tersayat tajam angin.
“Ssst. Aku sudah tak menjual hantu lagi. Pergilah ke Walijo, tenggara pasar Kliwon, dia yang masih kulakan, mewarisi bisnisku itu sejak 20 hari yang lalu.”
Tangis itu diam sebentar, kemudian memulai lagi. Kiyé menarik nafas.
“Heii, jangan ajak aku mati. Mati itu tak abadi. Yang abadi hanyalah hidup. Tapi, jangan menyesal. Semua toh bakal mati sepertimu juga.”
            Sebuah amplop dan tas dapat dikatakan benda yang penuh, utuh dan sempurna karena tidak memiliki perangkat kesadaran sehingga tidak mempunyai tanggung jawab kepada pembuatnya. Namun pada cerita pendek tersebut sebuah amplop dan tas dapat menangis sehingga keberadaan dari benda tersebut mempengaruhi manusia, baik perasaannya atau alam pikirannya. Dalam cerita pendek ini sebuah benda dapat dikatakan mempunyai kehendak menindak yang memberikan kebebasan bagi dirinya untuk meniadakan posisi dirinya atau sebaliknya. Sebuah benda seperti amplop dan tas dalam cerita pendek ini telah memberikan sebuah kejutan yaitu benda ternyata dapat memasukkan keberadaan dirinya pada manusia.
            Keberadaan dari sebuah amplop dan tas yang dapat mengeluarkan air mata merupakan bagian terpenting dari wacana yang diangkat karena sebuah benda ternyata dapat mengobjekkan seorang manusia. Sebuah amplop yang menangis dalam cerita pendek ini tidak dapat dilepaskan dari seorang peminta-minta yang dapat dijumpai di perempatan lampu merah saat mengedarkan amplop. Hubungan yang terjadi antara manusia dan benda pada cerita pendek ini adalah sebuah pertentangan antar subjek yang bersifat kekal hingga kematian menjemput segala air mata dan asa. Pada masa dewasa ini sebuah benda memegang peranan penting dalam segala aspek kehidupan manusia Indonesia. Setiap manusia Indonesia tidak dapat dilepaskan dari benda-benda. Manusia Indonesia dan barangkali seluruh manusia di planet ini dibentuk oleh benda yang menentukan alam pikiran, norma-norma masyarakat bahkan kematian manusia sendiri. Singkat kata dapat dijelaskan bahwa manusia Indonesia adalah tubuh-tubuh tanpa kepala karena kesempurnaan hidup dari manusia Indonesia terletak pada keberadaan benda yang membentuk pola hidupnya.
            Pada bagian lain yang mempunyai kesamaan dengan cerita Suara Dalam Amplop adalah cerita pendek Manekin. Dalam cerita tersebut terjadi proses saling mengobjekkan antara sesama manusia dengan benda atas dasar cinta.
            Istri manekinku sangat cantik, walaupun dia beku. Kulitnya putih, benar-benar putih. Seperti susu. Matanya biru, dengan bulu mata yang lentik, bibirnya merah tanpa lipstick, tubuhnya ramping dan nikmat untuk dipeluk... Istri manusiaku cantik. Tapi tak bisa kurengkuh. Dia terlalu angkuh untuk itu. Dia mengangapku bukan seperti suaminya. Aku mungkin hanya seorang pembantu rumah tangga untuknya.
            Proses saling mengobjekkan antara benda dan manusia atau manusia dengan manusia lainnya tersebut berakhir dengan kesediaan untuk saling mematikan yang akhirnya hanya memunculkan ketiadaan belaka. Cinta bukanlah sebuah upaya merenggut subjek yang berdiri sendiri. Dia merupakan sebuah jalan penyatuan menuju keabadian yang entah bertanah.
            Pada cerita Manekin dapat dijelaskan mengenai bentuk eksekusi subjek yang berdiri sendiri, proses eksekusi terhadap subjek lainnya tersebut telah mengakibatkan keterasingan manusia dengan cinta yang dibangunnya dan akhirnya berujung pada bentuk merugikan diri sendiri melalui kesuksesan membunuh diri serta merugikan orang lain dengan tunduk pada nafsu saling mengobjekkan yang berujung pembunuhan subjek lainnya yang telah dikutuk menentukan kebebasannya. Manusia Indonesia dan barangkali manusia di dunia ini sejak jaman pertama kali menginjakkan kaki di bumi yang asing telah bersusah payah mengobjekkan manusia lainnya dan benda di belantara bumi manusia. Hal tersebut hanya mengantarkan mereka pada kesiasiaan belaka seperti pertengkaran ataupun peperangan atas nama cinta yang tiada tulus.
            Cerita lainnya yang unik adalah cerita pendek Werkeloos. Latar cerita yang digunakan pengarang adalah situasi masa Hindia Belanda sehingga mengingatkan kita pada tetralogi roman Bumi Manusia karya Pramoedya Ananta Toer. Akan tetapi terdapat juga bagian yang ganjil pada cerita ini.
“Lowongan ini bukan buat orang Indonesia, melainkan buat orang Eropa yang mempunyai ijazah klein ambtenar”.
            Dasar bahwa pengarang cerita menggunakan subjek orang Indonesia merupakan suatu pemahaman yang ganjil pada situasi yang terjadi pada masa tersebut. Orang Indonesia pada masa itu disebut inlander atau pribumi. Baik para Belanda cokelat atau orang Belanda sendiri tentunya sangat risih dengan kata Indonesia karena hal tersebut berbau pergerakan para nasionalis ataupun komunis yang pada akhirnya membawa Hindia lepas dari tangan pemerintah kolonial Belanda. Kesalahan menjatuhkan pilihan kepada subjek orang Indonesia tersebut telah menyeret pengarang cerita ini pada bumerang yang menjadikan cerita ini runtuh di akhir cerita. Permasalahan pasca kolonial dalam cerita pendek ini lebih terlihat pada pembentukan identitas seorang manusia Hindia. Pada masa kolonial peran manusia inlander atau Hindia tulen sangat terpinggirkan dan kejadian tersebut berlaku juga dalam masa sekarang yang gegap gempita merayakan identitas manusia Indonesia seutuhnya yang nihil.
            Manusia Indonesia lahir karena desakan semangat kemerdekaan, kebebasan, dan persamaan yang begitu mengganggu pikiran ataupun juga perasaan pada masa pemerintahan kolonial Hindia Belanda. Manusia Indonesia pertama kali menatap dunia sebagai akibat dari dengung Sumpah Pemuda pada 28 Oktober 1928. Hal tersebut terjadi karena segala bentuk penjajahan di muka bumi selalu berorientasi mengenai cara mengeruk keuntungan dari tanah jajahan dengan mengekspolitasi secara berlebihan termasuk manusianya dan dengan penuh kegembiraan mengelompokkan manusia pada kelas-kelas sosial yang berbeda.     
            Pada masa dewasa ini manusia Indonesia merayakan sumpah pemuda namun mereka tidak dapat meresapi nilai-nilai yang membentuk sumpah tersebut. Setelah Indonesia merdeka posisi manusia Indonesia justru semakin terpinggirkan. Semangat sumpah pemuda adalah bertanah air, berbangsa dan berbahasa satu Indonesia hanya menjadi sebuah jantung yang berdetak namun dihinggapi paruh-paruh burung yang kian hari kian semangat mematukinya hingga jantung tersebut menyisakan lubang kematian. Dalam era kemajuan kapitalisme seperti sekarang ini tanah air, bangsa dan bahasa menjadi satu kesatuan yang ditentukan oleh produksi modal yang dikendalikan sepenuhnya oleh selera pasar. Keberadaan dari selera pasar tersebut dibentuk oleh benda-benda di luar manusia. Semangat manusia Indonesia yang tersisa hanyalah perjuangan kelas. Sudah menjadi takdir tak terbantahkan jika kelas yang berkuasa menentukan kebudayaan kelas yang lainnya.
III
            Cerita-cerita pendek lainnya kurang lebih mewakili hal yang sama yaitu kritik sosial yang dibungkus dengan satir ataupun tragedi. Dan masih terdapat juga tema cerita yang sudah banyak dimuat di koran terkenal yaitu tentang refleksi kritis atas adat. Banyak cerita pendek bagus dalam segi diksi yang indah dan puitis. Namun cerita pendek yang bagus adalah cerpen yang lebih berfungsi sebagai media alternatif pembebasan manusia dari belenggu dunia yang mencengkramnya.
            Cerita pendek sudah sepatutnya dapat dengan mudah diresapi alur ceritanya atau wacana yang ditampilkannya kepada masyarakat luas. Fungsi utama dari aspek kesenian tidak hanya menghibur semata dengan memunculkan efek-efek imajinasi namun harus dapat menjadi media belajar agar manusia mengenali dirinya sendiri. Cerita pendek sudah sepatutnya menjadi sebuah media penyampaian pesan yang dapat mengugah kesadaran manusia untuk dapat merekonstruksi ulang ketidakadilan yang berdiri tegak disampingnya.
            Tubuh cerita pendek hadir di sekeliling manusia sebagai jawaban pencarian akan langit yang entah. Setiap manusia membutuhkan segala impiannya tercapai. Harapan setiap manusia adalah sebuah awal dari pendakian sebuah masa depan. Begitu pula dengan kumpulan cerpen Manusia Indonesia ini. Semoga bisa menjadi sebuah langit dengan harapan-harapan tentang masa depan tergantung di atasnya. Selamat membaca dan mendaki langit dengan berkaca pada wajah-wajah manusia dan benda di dalamnya. Lihatlah manusia dan benda. Tubuh manusia Indonesia belum sepenuhnya sempurna.

Daftar Pustaka
Pramoedya, A. Toer. Realisme Sosialis dan Sastra Indonesia. Jakarta: Lentera Dipantara.
Sartre, J.P. 1966. Being and Nothingness. (Terj Hazel E. Barnes). New York: Washington Square Press.
Trotsky, Leon. 1923. The Social Roots and the Social Function of Literature. TIA.

Merayakan Anggur dengan Pencapaian Bahasa

Meidy Kautsar



Adalah hal yang perlu disampaikan bahwa sajak-sajak di sini dipilih pertama-tama karena bahasanya alih-alih ide. Perlu disampaikan juga bahwa ketika memilih puisi-puisi, nama dan biografi pengarang sudah dihilangkan terlebih dahulu agar tidak terjadi perilaku subjektif dalam penilaian, dan setelah puisi-puisi terpilih, barulah dicocokkan antara puisi dan nama yang membuatnya. Sebetulnya pekerjaan yang utama adalah mencari puluhan puisi yang bahasanya menakjubkan atau lebih kuat dibanding yang lain. Menjunjung bahasa sebagai anasir utama dalam penciptaan puisi, agaknya sejalan dengan pendapat Mallarme yang berbunyi ‘poem not write by ideas, but by words’. Puisi-puisi yang ikut serta dalam sayembara ini mencapai ribuan, namun banyak di antara puisi itu yang bisa disisihkan tanpa dibaca tegas-tegas. Misalnya, puisi-puisi yang konsistensi penggunaan huruf kapital dan huruf kecilnya tidak jelas, puisi yang menggunakan singkatan, puisi dengan dialog dan bahasa yang tidak puitis sama sekali sehingga melelahkan untuk dibaca, puisi yang terlalu ringan dan ngepop, dan sebagainya.

Banyak juga yang mengirim puisi pamflet, yaitu puisi dengan muatan kritik terhadap pemerintah, agama, institusi tertentu, dan sebagainya. Dari sekian banyak puisi pamflet yang masuk, telah disisihkan puisi-puisi pamflet yang kandungan kritiknya paling tidak jelas atau yang hanya berupa omelan. Sekali lagi, bahasa, dalam penciptaan puisi, kedudukannya sangat penting. Dan dalam antologi ini, telah dikumpulkan lima puluh puisi yang dianggap memiliki bahasa paling matang dibanding ribuan puisi lainnya. Puisi-puisi di sini berasal dari penulis dari berbagai daerah di Indonesia, dengan profesi berbeda, dan dengan jenis puisi yang memiliki perbedaan juga: ada puisi romantisisme, ekspresionistik, pamflet, liris, sufistik, mbeling, gelap, atau mungkin jenis lain.

Ada sebuah keimpresifan yang menyenangkan, dan interjeksi yang melengkapi, yang datang dari sajak berjudul ‘Penyair Anggur’. Sajak ini mengingatkan saya kepada sajak “Dongeng Anjing Api’ Sindu Putra, seorang penyair yang dianugerahi KLA tahun 2010—sebuah sajak yang membuat pembacanya berlari dalam arus kata-kata, seperti gelombang yang mendorong pembaca untuk hanyut begitu cepat sampai ujung puisi. Anggur telah menjadi kata yang unik, menimbulkan tafsir yang berliku, dan telah sewajarnyalah anggur menjadi kata yang rumit sebab anggur memiliki nuansa sufi dan romantis sekaligus. Puisi karya Viddy AD Daery ini padat dan ambisius : menunjukkan integritas penulisan yang keras dan tajam.

Penyair anggur

Tigris ! Tigris !
ini aku datang : sang musafir
membaca habis Babilon
bersujud di padang pasir
ini sebuah pesta
kularutkan ke arusmu
anggur dan air mataku
engkau yang tenang menghanyutkan
bawalah aku ke hilir lalu ke hulu
...


Selain itu, ada puisi-puisi karya Amal Bayu Ramadhan yang berjudul ‘Suara Alarm yang Membangunkanku di Tanggal 31 Ketika Aku Sedang Bermimpi Menirukan Suara Burung yang Tertembak oleh Pistol Airmu’, ‘Tentang Suatu Gerangan yang Suka Lalu-lalang di Ruangan Ketika Aku Sendirian’, dan ‘Soledad Dua Pecumbu Sepi’: puisi-puisi ini juga impresionistik: meninggalkan sebuah kesan yang dalam dan berkepanjangan. Dalam sejumlah bait, saya teringat Sapardi dan Goenawan Mohamad. Puisi-puisi ini dibangun dengan kata-kata yang teramat panjang, namun tetap menyenangkan untuk dibaca sampai akhir. Begitu individualis, dan betapa puisi ini tidak mau menjadi puisi yang mewakili orang lain secara pas karena perincian suasana dan waktunya. Barangkali cara berpuisi seperti yang diciptakan oleh Amal Bayu Ramadhan ini, dan puisi Viddy AD Daery, adalah cara berpuisi yang akan banyak digunakan dalam perpuisian Indonesia di masa datang.

Puisi romantis seperti ‘Kau Adalah Laut’ yang ditulis oleh Isbedy Stiawan, seorang yang sudah dikenal di Indonesia sebagai sastrawan, juga tidak luput menarik perhatian. ‘Kau Adalah Laut’ adalah cara berpuisi yang tidak baru, sebuah stilistika romantis yang umumnya digunakan oleh orang yang ingin membuat puisi. Hanya saja, Isbedy tidak membangun puisinya dengan pilihan kata yang remeh. ‘Kau Adalah Laut’ merupakan puisi mengenai aku-lirik yang begitu dalam menafsirkan sosok engkau. Penafsiran mengenai sosok engkau, yang dimetaforakan menjadi laut dan anasir-anasir lainnya, menjadikan puisi ini sebagai puisi romantisisme yang begitu murni, dan dari puisi-puisi romantisisme di antologi ini, Isbedy adalah yang terdepan.

Kau Adalah Laut

kau adalah laut. gelombang yang cepat menuju pantai
dan pulang lagi ke maha luas biru. memainkan kapal-kapal,
menikam pelaut hingga ke dasar karang. menghapus namanama
atau setiap kenangan


Ada juga puisi ‘Aku Mencintaimu’ dan ‘Mutiara Negeri Selatan’ yang juga mengandung nilai-nilai romantis, yang jika dibaca akan menimbulkan kesenangan-kesenangan akan kalimat yang penuh cinta. Banyak juga puisi yang tidak dimuat dalam antologi kali ini adalah puisi berjenis romantisisme, sebab puisi romantis seringkali terjatuh pada kemenye-menyean cinta, sehingga bahasa puisi pun terlalu dangkal, sementara pesan cintanya pun tidak lebih baik dari bahasanya. Puisi yang seperti itu menjadi tidak penting karena telah secara langsung menunjukkan kemampuan bahasa pembuat puisinya yang masih rendah. Puisi yang baik adalah puisi yang mengandung banyak makna, muatan, dan berbahasa indah. ‘Anak-anak dalam Bayang’ misalnya, adalah puisi yang memainkan narasi dan menjadikan narasi sebagai senjata untuk memperkaya makna. Narasi yang meliuk-liuk seperti ini mengingatkan saya kepada puisi-puisi Sapardi yang liris namun kadang terasa kabur dan membingungkan.

Anak-anak dalam Bayang

aku dan kau hanya tersenyum. mengingat masa lalu saat
gambar bersama sebelum pluit bunyi dan kereta mengerang
untuk meninggalkan pengantar yang menyimpan kenangan

di gambar itu aku merapat padamu. kau makin mendekat
lalu tanganmu yang lain menjepret dengan handphone mahal pula
"perlu ada kenangan sebelum hilang sama sekali," kataku
"aku justru ingin mengabadikan dengan ini," jawabmu


Kemudian, yang juga mewarnai antologi ini, adalah puisi mbeling. Terkadang puisi mbeling memiliki muatan tafsiran yang lebih luas daripada puisi romantisisme, atau setidaknya : puisi mbeling memiliki celah tafsir yang unik dibanding puisi-puisi lainnya. Dalam antologi ini ada puisi mbeling berjudul ‘Balada Feminisme Media’, ‘( . )(   )’, ‘Sajak Bau’, dan ‘Wig Gayus’. Puisi mbeling ini mengangkat isu yang sering diangkat oleh puisi mbeling pada umumnya : moral, gender, dan politik. Puisi semacam ini adalah antitesis dari puisi-puisi individualis dan impresionistik yang telah dibahas di atas. Jika puisi individualis mengedepankan keeksotisan, maka puisi yang mengangkat tema sosial (termasuk puisi mbeling) mengedepankan kelucuan, kesatiran, dan juga prioritas kritik yang seringkali disampaikan tersurat.

Dalam antologi ini, Penyair Anggur dianggap sebagai puisi yang dapat mewakili semua puisi yang ada: puisi ini mabuk, agamais, sufistik, ekspresionistik, romantis, dan gelap. Dalam kandungan kata-katanya, ada sebuah kritik yang begitu tersirat, dan oleh karena itulah puisi ini menjadi memukau. Dalam kandungan kata-katanya juga, ada sebuah pencapaian pesan yang beragam: bagaimana cara seseorang menafirkan sebuah puisi mengenai Tigris, Babilon, dan nama-nama asing lainnya itu? Sudah saatnya puisi yang memiliki kegelapan menjadi wakil dari puisi romantis dan pamflet, sebab zaman semakin maju dan kegelapan semakin jelas terlihat dalam kehidupan kita. Saya pikir, antologi puisi ini akan sangat berguna jika puisi-puisi di dalamnya berbahaya—mampu merasuk ke dalam kontemplasi orang yang membacanya dan membekas di ingatan.

Membaca "Apa Sebenarnya Indonesia" dalam Sepuluh Cerita Pendek

Meminjam sebuah pertanyaan Max Lane[1], “apa Indonesia, sebenarnya?” Pertanyaan ini sebenarnya adalah salah sebuah materi yang diutarakan oleh beliau dalam kuliah umumnya tentang “Pertanyaan-pertanyaan Politik yang Mengganggu: Soekarno-Pramoedya dan Signifikasi Kebangsaan Kini” di FIB UI, Depok. Dalam kuliahnya pada tanggal 30 Juni 2011 tersebut, Lane mencoba mengungkapkan pertanyaan-pertanyaan mengganjal seputar peta perpolitikan yang dilakukan oleh Soekarno. Beliau juga mencoba memetakan pertanyaan, “kenapa novel-novel Pramoedya Ananta Toer dilarang beredar semasa pemerintahan Orde Lama dan Orde Baru?” Selain kedua hal tersebut, Lane juga memerikan pandangannya terhadap signifikasi kebangsaan Indonesia kini. Menurutnya, signifikasi kebangsaan Indonesia kini hanya “nol”, karena memang merupakan sebuah warisan dari belum rampungnya—dengan apa yang diistilahkan oleh Soekarno—nation creation dan nation building.
Kembali kepada pertanyaan awal, “apa Indonesia, sebenarnya?” Sekarang kita coba petakan perlahan, karya-karya sastra Pramoedya Ananta Toer sebagai contoh—supaya tak terlalu jauh—khususnya Tetralogi Pulau Buru. Toer tak pernah sekalipun menuliskan kata “Indonesia” di dalamnya. Namun, setelah Proklamasi Kemerdekaan RI, “Indonesia” dan “merdeka” selalu dikumandangkan di seantero Negeri. Pada akhirnya saya juga ingin bertanya—kepada siapa saja tentunya—“apa Indonesia sebenarnya?” Sebab Ali Moertopo, seorang menteri di rezim Orde Baru, sempat mengonsepsikan Indonesia, yang berarti “sebuah rumpun budaya yang memiliki identitas kebudayaannya masing-masing.” Jika demikian, berarti Indonesia hanyalah sebuah atap Minangkabau yang berbentuk meruncing pada tiap-tiap ujungnya, ataupun blangkon dan jarik yang digunakan oleh sebagian besar etnis Jawa?[2] Atau dari sudut pandang Boehmer, bahwa Indonesia—dalam hal ini sebuah bangsa yang sempat dijajah oleh bangsa kolonial—adalah sebuah bangsa yang rindu akan identitas dan terus mencari bentuk bangsa yang dianggap tepat.[3] Apakah kedua hal tersebut sudah dapat menggambarkan Indonesia?   
Indonesia dan Manusia-nya, pada kesempatan kali ini dibaca oleh sepuluh kepala dan sepuluh pasang mata. Mereka mencoba memerikan hasil investigasi hasil bergelut dengan Indonesia. Dan hasil investigasi tersebut dirangkum dalam sepuluh cerita pendek yang bertemakan “Manusia Indonesia”. Sepuluh cerita pendek yang dirangkum tersebut dapat dikatakan merunut dua konsepsi yang telah disebutkan sebelumnya, yakni ”sebuah rumpun budaya yang memiliki identitas kebudayaannya masing-masing” dan “sebuah bangsa yang rindu akan identitas dan terus mencari bentuk bangsa yang dianggap tepat”.
Sepuluh cerita pendek tersebut adalah hasil penyaringan dari ratusan cerita pendek yang masuk ke email mini.kata1@gmail.com. Dalam kegiatan perangkuman hasil investigasi ini tentunya disertai dengan berbagai latar belakang penulis dalam memandang “Manusia Indonesia”. Mereka menjadi pilihan akhir dari ratusan yang masuk karena memang sesuai dengan tema yang ditentukan: “Manusia Indonesia. Mereka—sepuluh cerita pendek yang terpilih—dapat merekam dengan “unik” Indonesia dan Manusia-nya. Bukan bermaksud mengatakan cerita pendek yang lain—yang ratusan jumlahnya—tidak melakukan hal yang sama. Akan tetapi, narasi dan sudut pandang yang dipakai masih terlalu umum dan bias-a. Dari ratusan cerita pendek yang masuk, acapkali memakai sudut pandang ke-aku-an yang belum mengacu ke khusus, ataupun lebih mendalam lagi tentang apa itu Indonesia dan Manusia-nya. Dari segi narasi, ratusan cerita pendek yang masuk ke email mini.kata1@gmail.com, pun kebanyakan selalu mengulang beberapa teknik penulisan para penulis yang sudah populer, seperti Pramoedya Ananta Toer. Sebuah tindakan yang tidak dilarang memang, tapi akan menjadi sebuah persandingan yang “pelik” nantinya, jika di kepala para pembaca terkonstruksi tentang sebuah keadaan dan nilai seorang penulis terkenal.
Tulisan ini dibuka dengan ulasan kuliah umum dari Max Lane tentang Indonesia yang sempat diadakan di  Universitas Indonesia, tetapi hal tersebut hanyalah menjadi lompatan untuk berbicara tentang Indonesia dan Manusia-nya. Tema “Manusia Indonesia” sudah dipilih dari jauh-jauh hari, tujuannya memang untuk membuka berbagai kemungkinan yang dapat terjadi; seperti para penulis yang seringkali memerikan tentang pemahaman kebudayaannya masing-masing; ataupun memiliki hasrat yang kuat untuk mencari ke-pribadian-nya dengan menulis. Sejauh mana Indonesia dan manusia-nya di mata sepuluh penulis tersebut, sila menilai sendiri. Mungkin saja, Indonesia dan manusia-nya dapat menjadi lubang perangkap bagi siapa saja. Namun, tak dapat dipungkiri pula, mungkin saja dapat membuka wacana baru tentang “apa Indonesia sebenarnya?”
Selamat membaca.


[1] Seorang Professor dari Melbourne University, Australia, yang sejak 1969 telah berkecimpung seputar ke-Indonesiaan.
[2] Max Lane pada “Pertanyaan-pertanyaan Politik yang Mengganggu: Soekarno-Pramoedya dan Signifikasi Kebangsaan Kini”, tanggal 30 Juni 2011.
[3] Lihat penjelasan lebih lengkapnya di Ellek Boehmer, Colonial dan Postcolonial Literature, New York, Oxford University Press, 1995.

Pemenang Sayembara Cerpen & Puisi Komunitas Markas Sastra FIB UI 2010

Berikut ini adalah daftar pemenang Sayembara Cerpen & Puisi Komunitas Markas Sastra FIB UI 2010.

Untuk kategori Puisi:
  1. Preman Kertas karya Deni Irwansyah
  2. Mutiara Negeri Selatan karya Resa Saridona
  3. Penyair Anggur karya Viddy AD Daery
  4. Cerita Panjang Cangkang Kerang karya Arif Fitra Kurniawan
  5. ( . )(   ) karya Bintang Pradipta
  6. Sajak Bau karya Bintang Pradipta
  7. Pelukis dan Lukisan karya Clara Citra Mutiarasari
  8. Kabar Kepergianmu karya Indah IP
  9. Pekik Parau Akar Rumput Kala Desember Merangkul Januari karya Sumadi
  10. Ujung Pulau karya A'yat Khalili
  11. Menanam Puisi di Tubuh-tubuh Paling Sunyi karya Suaidi Syafiie Thaha
  12. Bocah 1 karya Suaidi Syafiie Thaha
  13. Bocah 2 karya Suaidi Syafiie Thaha
  14. Kereta Api karya A. Dymussaga Miraviori
  15. Ia Terbang karya Ayurisya Dominata
  16. Mimpi-mimpi karya Agung Setiawan
  17. Tubuh Hambar karya Alex R. Nainggolan
  18. Sebuah Malam di Bukit Bintang karya Arkhelaus Wisnu Triyogo
  19. Perempuan karya Asrina Novianti
  20. Cerita Rumput karya Brigitta Patricia SD
  21. Terserah karya Dewi Indah Ayu
  22. Biar karya Dewi Indah Ayu
  23. Balada Feminimisme Media karya Dharma Putra Purna Nugraha
  24. Tak Jatuh Ke Bumi karya Eka Retno
  25. Aku Mati Kata karya Galuh Sakti Bandini
  26. Celoteh Gadis Kecil Pinggir Jalan karya Galuh Sakti Bandini
  27. Kau Adalah Laut karya Isbedy Stiawan ZS
  28. Anak-anak Dalam Bayang karya Isbedy Stiawan ZS
  29. Lukisan Pagi di Kampung Pagi karya Anjani Putri Bayu Pratami
  30. Taresna karya Farid Kacung Alif
  31. Rendezvous: 5 Lelaki Peminum Kopi karya M. Maniro AF
  32. Aku Mencintaimu karya Alya Salaisha Sinta
  33. Khuldi karya Sigit Jaya Herlambang
  34. Refleksi karya Sigit Jaya Herlambang
  35. Suatu Hari Mengantarmu Pulang karya Tri Yunianto Nugroho
  36. Percakapan Di Bawah Bulan karya Wishu Muhammad
  37. Perempuan Berkerudung Air Mata karya Yadhi Rusmiadi Jashar
  38. Nyanyian Alam Cibeo karya Ahmad Wayang
  39. Syair Batu Kapur karya Agus Budiawan
  40. Jam karya Adhy Pratama Irianto
  41. Perempuan karya Khalil Tirta Anggara
  42. Intelektual Muda karya Mardhana Ksatrya
  43. Bunuh Diri karya Ma'rifatul Amalia
  44. Senandung Para Penyair karya Ru Higenacht
  45. Puisi Gadis Ini karya Brigitta
  46. Senandung Tertahan karya Harni Monika Lina
  47. Wig Gayus karya Fathur R.A.
  48. Suara Alarm Yang Membangunkanku Di Tanggal 31 Ketika Aku Sedang Bermimpi Menirukan Suara Burung Yang Tertembak Oleh Pistol Airmu karya Amal Bayu Ramdhana
  49. Tentang Suatu Gerangan Yang Suka Lalu-lalang Di Ruangan Ketika Aku Sendirian karya Amal Bayu Ramdhana
  50. Soledad Dua Pecumbu Sepi karya Amal Bayu Ramdhana
Untuk kategori Cerpen:
  1. Surat dalam Amplop karya Eko Triono
  2. Lelaki dalam Kota Kutukan Berkabut karya Dedi Supendra
  3. Langit karya Muhamad Ikhsan, S.Hut
  4. Hulubayang karya Jun Nizami
  5. Sarung Bantal Bendera Partai karya Joko Nugroho
  6. Beraroma Negeri Kopi karya Faizin Syafi'ie
  7. Membakar Ulos karya Biolen Fernando Sinaga
  8. Rhagrithiwr karya Arkan La Sida
  9. Manekin karya Latif Pungkasniar
  10. Werkeloos karya Trimanto
Selamat kepada para pemenang. Karya-karya yang masuk akan dimuat dalam antologi oleh Markas Sastra. Judul menyusul. Para pemenang masing-masing akan mendapat satu kopi dari antologi tersebut.

Salam sastra!

Pemenang Sayembara Cerpen & Puisi Komunitas Markas Sastra FIB UI 2010

Berikut ini adalah daftar pemenang Sayembara Cerpen & Puisi Komunitas Markas Sastra FIB UI 2010.

Untuk kategori Puisi: