KataMini

KataMini

Jumat, 23 Juli 2010

Sebuah Awal Mula

“Sebermula adalah kata”
(Sapardi Djoko Damono)

—1

Sebuah awal mula adalah sebuah langkah percobaan. Demikian juga KataMini. KataMini mencoba membuka ruang-ruang bagi penulis atau pengarang muda yang tertarik dalam penulisan sastra. Buletin ini juga merupakan tanggapan terhadap minimnya ruang-ruang bagi penulis atau pengarang muda. Setidaknya pada sebuah awal mula ini, KataMini dapat menjadi sebuah perangsang gagasan baru dalam dunia sastra Indonesia.
Sejak awal mula, Kesusastraan Indonesia tumbuh melalui media-media cetak seperti koran dan majalah. Pada masa sebelum perang, koran-koran, seperti Medan Prijaji, menampilkan cerita-cerita bersambung. Majalah Poedjangga Baroe juga meramaikan perdebatan tentang arah kebudayaan Indonesia dan merupakan majalah yang berpengaruh pada masa Pujangga Baru. Pada masa setelah perang, majalah Kisah, Siasat, dan Horison menjadi suar bagi kesusastraan Indonesia pada masanya. Sekarang, Kesusastraan Indonesia bersuar pada sastra koran dan kelompok-kelompok seniman yang sudah mempunyai nama besar.

—2

Pada Sebuah Awal Mula, KataMini menampilkan beberapa tulisan, di antaranya esai, prosa, puisi, dan tinjauan buku. Pada kolom esai, John Elliot mengutak-atik hakikat sebenarnya sastra adalah “gerak liar”. Ia menyebutkan bahwa, Pikiran-pikiran kata dalam kalimat mesti seliar layaknya pemuda yang terbangun memimpikan perempuan idamannya sambil mematut-matut di depan kolam dan bertanya ke mana bulan pergi ketika siang dan siap membunuh bapaknya jika bapaknya mengawini kekasihnya.

Pada bagian prosa terdapat tiga cerita. Salah satunya adalah Cerita yang Tempias dari dalam Kereta Api. Dalam prosa tersebut, arus putar balik menyelimuti hampir seluruh cerita. Pada bagian puisi, kegelisahan tentang “kelana” menjadi titik tersendiri. Pada bagian terakhir terdapat tinjauan buku Pertempuran Rahasia.

—3

Saya mempunyai imajinasi bahwa KataMini, setidaknya menjadi ruang alternatif dan ke depannya dapat terus dan terus menjadi bagian sastra Indonesia. Mungkin analogi yang tepat untuk menyebut KataMini sekarang adalah Seperti bayi yang kemudian belajar melangkah untuk pertama kalinya.
Selamat menikmati sebuah awal mula.

Depok, 2010

Redaksi



Gerak Liar Junta Sastra

Gerak Liar Junta Sastra

Oleh: John Elliot Redriver

Pikiran-pikiran kuasa adalah pikiran biasa dari manusia yang hidup sebagaimana biasanya. Dalam pemaksudan dunia sastra, junta ialah bahasa cinta yang tepat bagi keinginan memenuhi emosi tersebut. Posisi sosial dalam lahirnya sebuah karya sastra mengandaikan pada ketepatan dan keliaran tendangan sang jabang bayi untuk menendang lapisan kulit ibunya (baca: live world).

Coba kita pahami sejenak bahasa rumit dan kuasa dari penghadiran regulasi produksi sastra. Posisi ini memaksa para penyair atau pemrosa untuk menambal pikiran-pikirannya dengan kata yang ia cari dan temukan dalam kamus besar bahasa dunia. Lalu bagaimana lagi kita bisa percaya pada para penyair dan para pemrosa bila mereka menambal pikiran-pikirannya pada kamus tebal bajakan yang mereka beli di pasar buku bekas.

Bahasa diri mesti merasuk pada pikiran para penyair dan pemrosa demi menjadi racun digital atau jamur buku yang akan merusak kamus-kamus para sastrawan. Para sastrawan menampilkan kata mesti dengan keinginan katanya. Bahasa yang diperoleh hanya bisa dicerna usus yang tidak terkena kanker usus yang disebabkan oleh terlalu banyaknya makanan junk food (baca: semata produksi).

Menulis sastra ialah menulis desakan gairah ujung kaki, ujung kelamin, serta ujung kepala. Memasukkan pondasi emosi dan keinginan kuasa pada penulisan sastra ialah hal yang utama. Tidak ada lagi catatan kaki pada bahasa yang dibuatnya, dan barangkali juga tidak ada kutipan penguat karya belaka. Sehingga memasukkan emosi, gairah liar serta segala kemauan ialah harga mati bagi junta.

Pukullah segala yang melawan pada pikiran-pikiran junta. Keinginan junta ialah menguasai konsep dan segala bahasa dan memaksa mematikan sistem tepat keseimbangan huruf. Melawan dengan keras menjadi salah satu cara demi sebuah kekuasaan yang akan dimiliki junta. Tidak boleh ada demokrasi dalam pemilihan bahasa, semua kata mesti menjadi layak masuk dalam susunan kalimat yang berwaktu maupun yang nirwaktu. Perahu besar tidak bisa masuk dalam aliran sungai kecil, sebaliknya ia harus menantang samudra luas dan memburu ombak tengah samudra lantas menombaknya dengan segnap tenag untuk dapatkan buih terputihnya.

Pikiran-pikiran kata dalam kalimat mesti seliar layaknya pemuda yang terbangun memimpikan perempuan idamannya sambil mematut-matut di depan kolam dan bertanya ke mana bulan pergi ketika siang dan siap membunuh bapaknya jika bapaknya mengawini kekasihnya. **

Gadis dan Sepeda Tua

Gadis dan Sepeda Tua

Oleh: Dymussaga Miraviori



Sepeda tua itu terus menemaninya ke mana pun ia pergi: melintasi taman ketika gerimis menjemput magrib atau menyeberangi jembatan berundak yang memotong sungai kecil di belakang rumahnya.

Ia tak tahu apa yang membuatnya sangat dekat dengan sepeda tua. Sepeda tua begitu setia dengannya, atau sebaliknya ia yang setia dengan sepeda tua.

Mungkin sepeda itu dulu milik ayahnya atau kakeknya, tapi siapa peduli. Ia hanya tahu sepeda tua itu tepat untuknya. Kadang ia ingin mencoba bertanya pada karat yang pula setia soal usia sepeda tuanya, tapi apatah arti usia? Maka ia urungkan niatnya bertanya pada karat atau pada rantai yang sudah mulai cerewet atau pada per yang sudah mulai mencuat dan jok sepedanya; rindu bebas.

Suatu hari ia berjalan melintasi taman sendirian; tanpa sepeda tuanya. Pun pada hari berikutnya. Sepeda tua rupanya sudah tak mau menemaninya berjalan jalan, atau sebaliknya ia yang tak mau ditemani berjalan jalan oleh sepeda tua. Ia tidak tahu, ia hanya sudah terbiasa sendirian.

Maka ia berjalan kaki saja, sambil terkadang bersenandung diam diam, menyepak nyepak daun daun kering dengan sepatu bot hitamnya, terkadang pula mengingat perjalanannya yang lalu dengan sepeda tua itu.

Terkadang ia berpikir sepedanya dulu pastilah amat gagah dengan roda roda yang lincah dan pandai menukik, dan ia pun tersenyum diam diam. Waktu tarsus berganti, gemamnya.
Ia tidak ingin membeli sepeda baru, karena hanya sepeda tua itu yang tepat untuknya, meskipun kini sepeda tua sudah tak hendak dipakainya lagi. Ia tidak membenci sepeda tuanya, ia hanya berpikir inilah saatnya.

Di pojok teras belakang rumahnya sepeda tua itu tersandar, melepas lelah. Ia mungkin merindukan kayuhan si gadis melintasi taman ketika gerimis menjemput magrib atau menyeberangi jembatan yang memotong sungai kecil di belakang rumah. Namun memang benar, inilah saatnya.

Juni 2010

Cerita yang Tempias dari dalam Kereta Api

Cerita yang Tempias dari dalam Kereta Api

Oleh: Agung Dwi Ertato



Kereta api melaju kencang, melintasi waktu lain, menebas jarak ribuan kata. Fara tak pernah naik kereta sebelumnya, bahkan ia tak pernah pergi jauh hingga berjarak ribuan kata. Ia mengintip jendela, ribuan sawah membentang terbelah laju kereta api. Kereta api membawanya pergi jauh, jauh sekali. Fara memejamkan mata. Ia membayangkan kehidupannya sebelum berangkat, sebelum pergi bersama keretanya.

***

Di taman kota, tak ada lagi burung-burung gereja atau burung merpati bermain di bangku taman. Langit abu-abu menyelimuti taman kota. Burung gereja dan merpati, barangkali, tahu hari ini akan datang hujan. Fara duduk-duduk saja di bangku taman. Matanya kosong, ceruk-ceruk mukanya memperlihatkan luka yang dalam. Ia diam saja, mungkin sedang menunggu hujan atau menunggu hal-hal yang lain. Pikirannya mengawang.

Sesekali bibirnya bergetar, ketika ia mengeluarkan telpon genggamnya. Dan ia ingin sekali melemparnya tapi tak sekalipun telpon itu terlempar. Ia membuka kotak pesan telpon genggamnya. Tangannya bergetar. “Jika kamu bersikeras untuk pergi, aku akan bunuh diri, aku ngga’ mau kehilangan kamu.” Huruf-huruf pesan pendek itu berceceran di rongga dadanya. Sesak. Gerimis diam-diam menatapnya penuh ragu.

***

Fara bersandar pada dinding jendela kereta, mencoba memejamkan mata. Namun setiap kali ia mencoba, ia selalu tenggelam dalam ingatan-ingatan masa lalu. Suara mesin lokomotif tergopoh-gopoh membelah pegunungan. Udara sejuk bercampur aduk dengan asap rokok penumpang. Ia merasa dadanya sesak.
“Mau pesan minum atau makan, mbak?”, suara pelayan restorasi kereta mengangkatnya dari kolam masa lalu. “Engga mas, nanti kalo saya pesan langsung ke kereta makan aja”, jawab Fara ringan. Ia bersandar kembali. Tik-tik hujan menempel di jendela kereta. Langit mulai gelap dengan awan mendung. Kereta api menebas awan mendung dengan kencang membawanya pergi jauh, jauh sekali.
Fara melihat sekitar, beberapa penumpang terlelap, beberapa lagi berbincang satu sama lain. Tak ada yang dikenalinya. Barangkali kesepian telah memilihnya bersama sunyi senyap gerbong.

***

“Coklat panas, mas, satu”, pesan Fara. Ia berada di gerbong restorasi. Rasanya tidak seperti di kafe atau kedai kopi di kotanya. Baru kali ini ia menikmati secangkir coklat yang bergerak. Ia memilih duduk di dekat kaca jendela. Ia ingin merasakan dingin, dingin yang merembes di kaca jendela. “Ada tambahan?”, tanya pelayan dengan senyum yang sama, tak berkurang atau bertambah. ‘Kenapa ia selalu tersenyum’, pikir Fara dalam hati, ‘padahal ia selalu jauh dari kotanya.’
“Ada donat, mas?”
“Kalo donat ngga ada mbak, di sini adanya makanan berat, nasi goreng, nasi rames, dan mi rebus.”
“Ya sudah kalo gitu mas, coklat panas aja.”
Fara mengeluarkan sebungkus rokok, menghisap pelan-pelan. Asap rokok membumbung di langit-langit gerbong, berubah menjadi bayangan ibunya. Pikirannya melayang.
“Kamu merokok lagi ya?!”, bentak ibunya.
“Engga kok.”
“BOHONG!!, itu baju kamu baunya asap rokok.”
“Cuma tiga batang kok.”

Tangan ibu Fara meluncur deras di mukanya. Rasanya sakit, sakit sekali, pikirnya dalam hati. Perih merembes hingga ulu hatinya. Matanya nanar samar-samar. Ia ingin sekali menutupi mata sayunya, tapi mata takkan pernah dusta.

Asap rokok mengepul. Di rasakan asap-asap yang melewati rongga mulutnya, mampir di paru-parunya, berputar sejenak, lalu keluar pelan-pelan melewati lubang hidungnya. ‘Kenapa orang-orang selalu menganggap rendah pada perokok yang kebetulan adalah perempuan.’ Asap rokok berputar-putar. Lenyap.

“Coklat Panas?”, tanya pelayan dengan senyum yang sama sekali tak pernah berubah.
“Iya”, suara Fara pelan, hingga suaranya tertelan mesin lokomotif. “Terima kasih.”

Uap air mengepul dari cangkir coklat panas. Hilang. Tanpa sedikit pun berbekas. Ia membayangkan dirinya adalah uap itu, terbang dan sekejap lenyap. Orang-orang takkan pernah memikirkan uap air, mereka hanya memikirkan rasa di balik cangkir bukan uap air, pikirnya. Ia ingin sekali terbang dan hilang, entah ke mana angin akan membawanya pergi. Ia ingin sekali pergi jauh.

Gerbong restorasi tak sama dengan gerbong penumpang. Hanya ada beberapa orang. Tidak ada dengkur penumpang yang terlelap, atau tawa yang menyelimuti perbincangan. Ia melihat jam tangannya. Sudah lewat tengah malam, barangkali akan sampai, pikirnya. Ia kembali membuang asap rokok dan menyisakan sedikit untuk paru-parunya.

***

Kereta api terus melaju. Kencang. Kadang suara decit roda kereta terdengar seru, kadang tak terasa sama sekali, kadang kereta api tergopoh-gopoh, kadang seperti terbang. Kereta terus melaju mengantarkan beberapa orang di dalamnya, tanpa tahu siapa yang diantarkannya dan alasan kenapa ia tetap mengantarkan tanpa bertanya pada siapapun. Kereta tetap melaju, naik, turun, berkelok mengikuti alur rel.

Bayangan-bayangan masa lalu Fara kembali membanjiri lewat suara desah kereta. Ia melihat bayangan ayahnya. Tanpa sedikitpun rona sedih. Ayahnya tersenyum lalu hilang. Dadanya sesak.
Kerinduan kembali menusuk uluh hatinya. Rindu yang begitu beku dan kekal. Rindu yang begitu dingin. ‘Kenapa papa begitu lekas menghilang’, gumamnya dalam hati. Ia melihat sekelilingnya. Dinding-dinding kereta berubah menjadi dinding rumahnya.

“Jangan ingat-ingat papamu lagi!!”, Ibu Fara menatap tubuh Fara tanpa sedikit pun mengerdip. “Ia bukan lagi papamu.” Mata ibunya melotot, tubuh Fara gemetar. Dadanya kembali sesak.
“Tapi Fara sayang papa, ma”, bibir Fara gemetar menatap ibunya. Tak ada lagi kelembutan bidadari yang selalu dimimpikan Fara tiap malam. Ibunya berubah. Kejam, pikirnya dalam hati.
“Kalo mama bilang engga ya engga”.

Fara masih ingat ketika ayahnya melukis foto pernikahan kedua orangtua Fara. “Lukisan ini akan jadi kado ulang tahun pernikahan papa sama mama, bagus ngga?”, mata ayah Fara bersinar sambil menunjukkan lukisan yang belum rampung sempurna. Ia masih saja lembut seperti goresan-goresan dalam lukisan pernikahan dua puluh lima tahun lalu. Hanya beberapa kerut yang menempel dalam sela-sela wajah ayah Fara. Rambut yang berubah putih namun tetap panjang terurai. Goresan yang terlalu lembut dan halus. Ibunya begitu cantik serupa bidadari yang menghiasi lekuk-lekuk mimpi Fara.

“Papamu kerjanya hanya melukis, rambut aja yang digondrongin, tapi tanpa ada penghasilan. Mana lukisan-lukisan yang katanya berharga berpuluh-puluh juta”, Mata Ibu Fara menyala. Merah. Rasanya bidadari di kanvas itu telah berubah. Fara takut sekali. Fara hanya diam saja. “Kamu jangan lagi-lagi menemui papamu, biarin papamu hidup dengan dunianya di luar, mama sudah ngga peduli lagi. Sekarang kamu, Fara, harus ikut mama.” Fara tetap saja diam, tangannya direngguh.

***

Air mata Fara merembes di antara pipi yang sintal. Tubuhnya gontai. Malam semakin mendera tubuhnya. Kereta melaju, tak pernah melihat belakang. Alur rel mengatur jalan kereta, berkelok ke kanan, kiri, naik, turun. Tubuh Fara diam dalam kereta mengikuti Kereta. Asap rokoknya meluap, kunang-kunang berkejaran dengan kereta api di balik jendela. Langit makin gelap, makin padam. Dadanya kembali sesak. Jantungnya berdebam. Bayangan ayah dan ibunya lamat-lamat menjadi siluet kecil di ujung cakrawala. Begitu jauh.

***

“Maaf mbak, Kereta sebentar lagi nyampe. Mbak siap-siap aja, suka ramai di pintu kereta kalau pada mau turun.”
Fara terbangun, matanya masih berat. Pandangannya masih sayup-sayup. Ia mengeluarkan telpon genggamnya, tak ada tempat untuk pesan baru.
“Kalo mbak mau istirahat, di sekitar stasiun ada beberapa penginapan.”
Telpon genggamnya bergetar. Pesan mendesak. “Papa akan dimakamkan jam tiga sore.” Jantungnya berdegam.**

Semarang-Depok, 15-20 Juli 2010

Painem

Painem
Oleh: Biyanto Hitalesiakwany


Sejauh ini, mungkin hanya namanya yang sempat kuingat. Tidak bisa kuingat lagi wajahnya, senyumannya, maupun tingkah lakunya. Kala itu aku masih belum bisa membedakan antara hujan dan air mata, antara kiasan dan kenyataan.

***

Namanya Painem, yah tipikal nama orang Jawa, nama tunggal , tanpa embel-embel apapun dan menunjukkan kerakyatjelataannya. Kata orang dia adalah orang yang baik, polos dan sangat menghargai setiap kehidupan. Kehidupan yang mungkin bagi sebagian orang tidak berarti apa, ketika nafas dan darah sudah tercampur keserakahan.

Umurnya kala itu menjelang 60-an. Kata Ibu dia adalah pendukung rumah tangga kami yang paling loyal. Ibu suka menggunakan kata ‘pendukung’ karena dia tidak hanya pembantu tapi juga pendukung, karena tanpanya, kami tidak akan pernah bisa makan dan memakai pakaian bersih dan wangi.

Rutinitasnya sama setiap hari, bangun jam empat subuh, kemudian berberes rumah sembari memasak dan bersembayang subuh. Kata Ayah, beliau tidak mengetahui secara pasti agamanya, mungkin dia beragama alam, karena dia sangat mencintai alam. Dia suka berkebun, menanam bebungaan dan sayur-sayuran, seringkali menyiangi tetanaman itu.

Painem adalah orang yang jujur, suka menolong sesama dan tingkah pernah menunjukkan rasa lelah-letihnya akan pelayanan kepada kami. Kata Pakde, dia sudah bertahun-tahun menemani keluarga Kakek. “Tidak pernah sekalipun hal buruk menimpa keluarga kami, mungkin karena doa-doanya”, terka Pakde. Doa-doa yang dipanjatkan saat subuh menjelang dan maghrib tiba.

Bertahun-tahun kemudian, aku masih merindukkan sebentuk kasih sayang itu. Kasih sayang ketika dia memandikan dan mengikutsertakan diriku dan keluarga kami di antara panjatan doa-doanya. Raut mukanya memang tenang dan menyejukkan hati, dia merupakan dewi yang dikirimkan Tuhan kepada kami kata Eyangku. Eyang juga pernah mengatakan dia sudah mendukung keluarga kami selama empat generasi, sejak dia masih belum mengenal apa itu cinta bahkan sampai akhir hayatnya.

Menjelang kematiannya, Painem sempat berpesan bahwa dia minta dibakar saja. Dia tidak ingin merambah dan menjamah tetanahan yang bukan haknya, dia ingin selaras dan berbaur dengan alam melalui abu-abunya. Aku sempat bertanya pada Ibu, dimanakah abu-abunya disebar. Ibu mengatakan bahwa di pohon beringin depan rumah kami. Dia berpesan di akhir hayatnya, supaya ditabur di situ saja, supaya tetap bisa menjadi pendukung keluarga kami.

20 July 2010 18:48, MBTH

Kereta Api




Kereta Api



Kereta api itu datang lagi ke dalam mimpi. Berjalan tak tentu arah di atas rangkaian yang hampir tak terlihat.

Pohon pohon seakan berlari di luar jendela, mengejar apa yang takkan pernah terkejar.

Di dalam suasana begitu menyihir: aroma tembakau dan kopi, warna-warna coklat dan kuning, pramusaji yang rupawan dengan gelas gelas tinggi yang tetap seimbang di atas kereta yang melaju.

Kereta berhenti di sebuah kota yang tak kukenal dan mempersilahkanku turun. Pramusaji rupawan menyarankanku mencari sebuah penginapan. Anda perlu istirahat.

Kereta api lembali meninggalkanku di kota asing ini: pesonanya tak pernah berkurang.

(Juni 2010)

Dymussaga Miraviori

Elegi Orpheus

Datanglah angin dan debu
karena tanah terbakar
hanya mengenal bara. Cinta
yang kini bersemayam di hati
bersinar berjubah api. Peluklah
tanganku dan tinggalkan
sisasisa airmata
di mahkota Hades, Kerberos
memburu menenggelamkan dalamdalam
pertemuan sepadan rindu.

Orpheus,
darahmu menderuderu,
buluh nadimu beku salju,
ketidaksabaran bertumpu padu
hanya memuai ketiadaan.
Kepingkeping tubuh kita lekat erat melukis kekalahan.

Kolam neraka
tak mengenal kebutaan cinta,
seketika kamarinskaya
mengalun menangis pijar renjis gerimis remis.
Sabda paruh panah Eros dikutuk dicemburui Eris,
Eurydicia terlelap dalam sangkar Persephoneia.
Jangan tatap masa lalu
karena mataku sepasang kupukupu.

2010

Aditya Revianur

Nyanyian maut

Di atas pangkuan mayat busuk ini,
ku tinggalkan jubah keemasan raja,
berkibarkibar di lengannya lagu rayu
mengajak siapa saja yang menyahut ragu.

Kini, aku duduk sendiri
menikmati candu –terbakar
menanti kabar, hingga akhirnya
menyusul mereka –menuju neraka.

(2010)

Bachtiar Agung Nugraha

Aku Pengembara, Kita Pengembara

semacam senyap yang kutemukan
dalam dirimu
menjadi keruh tergenang
bersama lumpur
sisa hujan tahun kemarin

tak juga kau ingin menjadi
jernih
sesekali juga melewati
batu pegunungan menuju hilir
segeralah temuiku

semacam nada sumbang
aku yang tak pernah menjadi
peka
mencari langit ciptaan
Pan Gu
juga wanita asing ciptaan
Nu Wa

cobalah minum teh di musim
dingin
makan dengan sumpit
atau pangsit kala
imlek
ciciplah sedikit ikan bawal
berbareng dengan naga bersebarang
lewat

tetap saja aku berbaring saat
shubuh
menunggumu menyentuh kakiku
yang dingin membeku

rasakan juga sekali saja tiupan angin
yang coba menerpa telingamu
lewat desah suaraku
belum juga aku merasa ini
burung camar

sajakmu takkan menemukanku
Aku Pengembara
Kita Pengembara, berbeda jalur

Dewi Nuriyah

Menyimak Lakon “Pertempuran Rahasia”

Menyimak Lakon “Pertempuran Rahasia”

Oleh: Agung Dwi Ertato




Puisi adalah suara lain. Begitulah ucapan Octavio Paz dalam kuliah umum nobel. Demikian pula dengan Triyanto Triwikomo. Ia mampu menyuarakan sesuatu hal yang lain dalam lakon-lakon (baca: puisi) yang ia buat. lakon-lakon yang sebenarnya sudah ada, Ramayana dan Mahabarata, dan sudah menyebar luas dalam masyarakat.

Triyanto Triwikromo bukanlah nama yang asing, setidaknya dalam beberapa tahun ini, ia, salah satu penulis yang sangat produktif. Triyanto Triwikromo mungkin lebih dikenal sebagai penulis cerita akhir-akhir ini, terbukti dengan Penghargaan Sastra yang diberikan oleh Pusat Bahasa untuk buku kumpulan cerpennya Ular di Mangkuk Nabi pada tahun 2009. Ia juga penjaga kolom sastra pada koran lokal di Jawa Tengah.

Pada tahun ini, bukan buku kumpulan cerita pendek yang ia keluarkan melainkan buku puisi. Dalam buku puisinya, Pertempuran Rahasia, ia mulai mengaburkan jarak antara prosa dan puisi. Hampir semua puisi yang terdapat dalam buku tersebut tidak berbentuk larik-larik, hanya beberapa saja yang berbentuk larik bahkan beberapa tersebut hanya merupakan bagian puisi yang berbentuk prosa. Puisi Triyanto tetap bercerita. Kali ini yang ia ceritakan adalah kronik pewayangan Ramayana dan Mahabarata.

Seperti yang dikatakan Sapardi Djoko Damono dalam esai pengantar buku Pertempuran Rahasia, Triyanto memang memutuskan menjadi dalang. Ia tidak memainkan wayang-wayangnya melainkan membiarkan wayang-wayangnya bertempur dengan dirinya sendiri. Dalam lakonnya ini ia mampu menyuarakan hal lain dalam kronik Mahabarata dan Ramayana. Ia juga tidak ragu, padahal penikmat sastra di Indonesia belum tentu paham betul mengenai Mahabarata dan Ramayana.

Pertempuran Rahasia: Pertempuran dengan diri sendiri

Dalam kisah pewayangan Mahabarata, terdapat kisah perang Baratayuda. Perang yang mempertemukan Pandawa dan Kurawa, perang kebaikan melawan keburukan. Pun demikian dengan kisah Ramayana, perang antara pihak Rama dan Rahwana. Pandawa dan Rama selalu identik dengan kebaikan, sebaliknya Kurawa dan Rahwana selalu identik dengan keburukan. Dalang Triyanto tidak mempersoalkan hal itu. Dalam Pertempuran Rahasianya, dalang memainkan hal lain yang tidak pernah disentuh oleh dalang-dalang lainnya. Ia memainkan tokoh-tokoh berperang bukan dengan musuhnya melainkan dengan diri tokoh itu sendiri.

Tokoh-tokoh dalam lakon Triyanto mengalami kegelisahan tentang dirinya, tentang hal yang terjadi di sekitarnya—peperangan itu sendiri—, dan tentang asal mula mereka.
Pada puisi “Pertobatan Kresna”, Triyanto berhasil bercerita tentang kegelisahan Kresna, kegelisahan tentang kematian. Triyanto menghadirkan pertanyaan-pertanyaan dalam lubuk hati Kresna yang jika kita resapi, hal tersebut merupakan bentuk peperangan itu sendiri. Berikut ini adalah kutipan puisi tersebut.

Apakah titisan dewa boleh bunuh diri, Ibu? Maka ia pun mendaki gunung suwung dan menggelindikan tubuh hingga membentur batu-batu lembah dan jurang. Berkali-kali. Berhari-hari. Tak mati-mati. Maka ia bertikai dengan para mambang dan Dewa Perang. Berbilang-bilang. Berbulan-bulan. Tak tumbang-tumbang. Apakah titisan dewa tak boleh mati. (Hal. 12)


Triyanto mampu menghadirkan Pertempuran Rahasia dalam batin Kresna. Kegelisahan batin juga dialami oleh Aswatama, Karna, dan Togog. Mereka adalah pihak Kurawa yang sering dianggap buruk atau jahat. Tapi apakah mereka benar-benar ingin menjadi “jahat”?

Triyanto mengutak-atik kisah Mahabarata tanpa mengubah pakem cerita. Ia hanya menyuarakan suara batin masing-masing tokoh. Pada ketiga tokoh Kurawa tersebut, pertanyaan-pertanyaan terhadap diri sendiri pun muncul. Karna menanyakan ihwal asalnya yang membuatnya bimbang untuk memihak Kurawa atau Pandawa (pada Puisi “ Pertanyaan Karna”, hal. 28). Pun juga dengan Aswatama yang mempertanyakan tangisnya (pada puisi “Tangis Aswatama”, hal 29) dan Togog yang mempertanyakan siapa sebenarnya dirinya (pada puisi “Hikayat Togog”, hal. 57).

Triyanto juga memainkan lakon Ramayana. Ia juga kembali menguak sisi lain epos Ramayana yang dituangkan dalam renungan-renungan tokoh-tokohnya. Dalam pertempuran di Alengka dan kisah pembakaran Sinta, Triyanto mengangkat suara renungan tokoh Rahwana, Kumbakarna, dan Sinta.

Hampir semua puisi dalam Pertempuran Rahasia berakhir pada pertanyaan-pertanyaan. Namun inilah kekuatan sejati buku tersebut. Pertanyaan-pertanyaan yang hanya bisa dijawab melalui perenungan yang panjang. Perenungan sunyi senyap terhadap diri sendiri dan permasalahan manusia.
Buku Pertempuran Rahasia mampu menyuarakan suara lain yang tidak lain adalah suara pertanyaan batin.**

Data Buku
Judul : Pertempuran Rahasia
Penulis : Triyanto Triwikromo
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Tahun terbit : 2010
Tebal : vi + 98 halaman
ISBN : 978-979-22-5755-7