KataMini

KataMini

Jumat, 23 Juli 2010

Menyimak Lakon “Pertempuran Rahasia”

Menyimak Lakon “Pertempuran Rahasia”

Oleh: Agung Dwi Ertato




Puisi adalah suara lain. Begitulah ucapan Octavio Paz dalam kuliah umum nobel. Demikian pula dengan Triyanto Triwikomo. Ia mampu menyuarakan sesuatu hal yang lain dalam lakon-lakon (baca: puisi) yang ia buat. lakon-lakon yang sebenarnya sudah ada, Ramayana dan Mahabarata, dan sudah menyebar luas dalam masyarakat.

Triyanto Triwikromo bukanlah nama yang asing, setidaknya dalam beberapa tahun ini, ia, salah satu penulis yang sangat produktif. Triyanto Triwikromo mungkin lebih dikenal sebagai penulis cerita akhir-akhir ini, terbukti dengan Penghargaan Sastra yang diberikan oleh Pusat Bahasa untuk buku kumpulan cerpennya Ular di Mangkuk Nabi pada tahun 2009. Ia juga penjaga kolom sastra pada koran lokal di Jawa Tengah.

Pada tahun ini, bukan buku kumpulan cerita pendek yang ia keluarkan melainkan buku puisi. Dalam buku puisinya, Pertempuran Rahasia, ia mulai mengaburkan jarak antara prosa dan puisi. Hampir semua puisi yang terdapat dalam buku tersebut tidak berbentuk larik-larik, hanya beberapa saja yang berbentuk larik bahkan beberapa tersebut hanya merupakan bagian puisi yang berbentuk prosa. Puisi Triyanto tetap bercerita. Kali ini yang ia ceritakan adalah kronik pewayangan Ramayana dan Mahabarata.

Seperti yang dikatakan Sapardi Djoko Damono dalam esai pengantar buku Pertempuran Rahasia, Triyanto memang memutuskan menjadi dalang. Ia tidak memainkan wayang-wayangnya melainkan membiarkan wayang-wayangnya bertempur dengan dirinya sendiri. Dalam lakonnya ini ia mampu menyuarakan hal lain dalam kronik Mahabarata dan Ramayana. Ia juga tidak ragu, padahal penikmat sastra di Indonesia belum tentu paham betul mengenai Mahabarata dan Ramayana.

Pertempuran Rahasia: Pertempuran dengan diri sendiri

Dalam kisah pewayangan Mahabarata, terdapat kisah perang Baratayuda. Perang yang mempertemukan Pandawa dan Kurawa, perang kebaikan melawan keburukan. Pun demikian dengan kisah Ramayana, perang antara pihak Rama dan Rahwana. Pandawa dan Rama selalu identik dengan kebaikan, sebaliknya Kurawa dan Rahwana selalu identik dengan keburukan. Dalang Triyanto tidak mempersoalkan hal itu. Dalam Pertempuran Rahasianya, dalang memainkan hal lain yang tidak pernah disentuh oleh dalang-dalang lainnya. Ia memainkan tokoh-tokoh berperang bukan dengan musuhnya melainkan dengan diri tokoh itu sendiri.

Tokoh-tokoh dalam lakon Triyanto mengalami kegelisahan tentang dirinya, tentang hal yang terjadi di sekitarnya—peperangan itu sendiri—, dan tentang asal mula mereka.
Pada puisi “Pertobatan Kresna”, Triyanto berhasil bercerita tentang kegelisahan Kresna, kegelisahan tentang kematian. Triyanto menghadirkan pertanyaan-pertanyaan dalam lubuk hati Kresna yang jika kita resapi, hal tersebut merupakan bentuk peperangan itu sendiri. Berikut ini adalah kutipan puisi tersebut.

Apakah titisan dewa boleh bunuh diri, Ibu? Maka ia pun mendaki gunung suwung dan menggelindikan tubuh hingga membentur batu-batu lembah dan jurang. Berkali-kali. Berhari-hari. Tak mati-mati. Maka ia bertikai dengan para mambang dan Dewa Perang. Berbilang-bilang. Berbulan-bulan. Tak tumbang-tumbang. Apakah titisan dewa tak boleh mati. (Hal. 12)


Triyanto mampu menghadirkan Pertempuran Rahasia dalam batin Kresna. Kegelisahan batin juga dialami oleh Aswatama, Karna, dan Togog. Mereka adalah pihak Kurawa yang sering dianggap buruk atau jahat. Tapi apakah mereka benar-benar ingin menjadi “jahat”?

Triyanto mengutak-atik kisah Mahabarata tanpa mengubah pakem cerita. Ia hanya menyuarakan suara batin masing-masing tokoh. Pada ketiga tokoh Kurawa tersebut, pertanyaan-pertanyaan terhadap diri sendiri pun muncul. Karna menanyakan ihwal asalnya yang membuatnya bimbang untuk memihak Kurawa atau Pandawa (pada Puisi “ Pertanyaan Karna”, hal. 28). Pun juga dengan Aswatama yang mempertanyakan tangisnya (pada puisi “Tangis Aswatama”, hal 29) dan Togog yang mempertanyakan siapa sebenarnya dirinya (pada puisi “Hikayat Togog”, hal. 57).

Triyanto juga memainkan lakon Ramayana. Ia juga kembali menguak sisi lain epos Ramayana yang dituangkan dalam renungan-renungan tokoh-tokohnya. Dalam pertempuran di Alengka dan kisah pembakaran Sinta, Triyanto mengangkat suara renungan tokoh Rahwana, Kumbakarna, dan Sinta.

Hampir semua puisi dalam Pertempuran Rahasia berakhir pada pertanyaan-pertanyaan. Namun inilah kekuatan sejati buku tersebut. Pertanyaan-pertanyaan yang hanya bisa dijawab melalui perenungan yang panjang. Perenungan sunyi senyap terhadap diri sendiri dan permasalahan manusia.
Buku Pertempuran Rahasia mampu menyuarakan suara lain yang tidak lain adalah suara pertanyaan batin.**

Data Buku
Judul : Pertempuran Rahasia
Penulis : Triyanto Triwikromo
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Tahun terbit : 2010
Tebal : vi + 98 halaman
ISBN : 978-979-22-5755-7

Tidak ada komentar:

Posting Komentar