KataMini

KataMini

Jumat, 23 Juli 2010

Cerita yang Tempias dari dalam Kereta Api

Cerita yang Tempias dari dalam Kereta Api

Oleh: Agung Dwi Ertato



Kereta api melaju kencang, melintasi waktu lain, menebas jarak ribuan kata. Fara tak pernah naik kereta sebelumnya, bahkan ia tak pernah pergi jauh hingga berjarak ribuan kata. Ia mengintip jendela, ribuan sawah membentang terbelah laju kereta api. Kereta api membawanya pergi jauh, jauh sekali. Fara memejamkan mata. Ia membayangkan kehidupannya sebelum berangkat, sebelum pergi bersama keretanya.

***

Di taman kota, tak ada lagi burung-burung gereja atau burung merpati bermain di bangku taman. Langit abu-abu menyelimuti taman kota. Burung gereja dan merpati, barangkali, tahu hari ini akan datang hujan. Fara duduk-duduk saja di bangku taman. Matanya kosong, ceruk-ceruk mukanya memperlihatkan luka yang dalam. Ia diam saja, mungkin sedang menunggu hujan atau menunggu hal-hal yang lain. Pikirannya mengawang.

Sesekali bibirnya bergetar, ketika ia mengeluarkan telpon genggamnya. Dan ia ingin sekali melemparnya tapi tak sekalipun telpon itu terlempar. Ia membuka kotak pesan telpon genggamnya. Tangannya bergetar. “Jika kamu bersikeras untuk pergi, aku akan bunuh diri, aku ngga’ mau kehilangan kamu.” Huruf-huruf pesan pendek itu berceceran di rongga dadanya. Sesak. Gerimis diam-diam menatapnya penuh ragu.

***

Fara bersandar pada dinding jendela kereta, mencoba memejamkan mata. Namun setiap kali ia mencoba, ia selalu tenggelam dalam ingatan-ingatan masa lalu. Suara mesin lokomotif tergopoh-gopoh membelah pegunungan. Udara sejuk bercampur aduk dengan asap rokok penumpang. Ia merasa dadanya sesak.
“Mau pesan minum atau makan, mbak?”, suara pelayan restorasi kereta mengangkatnya dari kolam masa lalu. “Engga mas, nanti kalo saya pesan langsung ke kereta makan aja”, jawab Fara ringan. Ia bersandar kembali. Tik-tik hujan menempel di jendela kereta. Langit mulai gelap dengan awan mendung. Kereta api menebas awan mendung dengan kencang membawanya pergi jauh, jauh sekali.
Fara melihat sekitar, beberapa penumpang terlelap, beberapa lagi berbincang satu sama lain. Tak ada yang dikenalinya. Barangkali kesepian telah memilihnya bersama sunyi senyap gerbong.

***

“Coklat panas, mas, satu”, pesan Fara. Ia berada di gerbong restorasi. Rasanya tidak seperti di kafe atau kedai kopi di kotanya. Baru kali ini ia menikmati secangkir coklat yang bergerak. Ia memilih duduk di dekat kaca jendela. Ia ingin merasakan dingin, dingin yang merembes di kaca jendela. “Ada tambahan?”, tanya pelayan dengan senyum yang sama, tak berkurang atau bertambah. ‘Kenapa ia selalu tersenyum’, pikir Fara dalam hati, ‘padahal ia selalu jauh dari kotanya.’
“Ada donat, mas?”
“Kalo donat ngga ada mbak, di sini adanya makanan berat, nasi goreng, nasi rames, dan mi rebus.”
“Ya sudah kalo gitu mas, coklat panas aja.”
Fara mengeluarkan sebungkus rokok, menghisap pelan-pelan. Asap rokok membumbung di langit-langit gerbong, berubah menjadi bayangan ibunya. Pikirannya melayang.
“Kamu merokok lagi ya?!”, bentak ibunya.
“Engga kok.”
“BOHONG!!, itu baju kamu baunya asap rokok.”
“Cuma tiga batang kok.”

Tangan ibu Fara meluncur deras di mukanya. Rasanya sakit, sakit sekali, pikirnya dalam hati. Perih merembes hingga ulu hatinya. Matanya nanar samar-samar. Ia ingin sekali menutupi mata sayunya, tapi mata takkan pernah dusta.

Asap rokok mengepul. Di rasakan asap-asap yang melewati rongga mulutnya, mampir di paru-parunya, berputar sejenak, lalu keluar pelan-pelan melewati lubang hidungnya. ‘Kenapa orang-orang selalu menganggap rendah pada perokok yang kebetulan adalah perempuan.’ Asap rokok berputar-putar. Lenyap.

“Coklat Panas?”, tanya pelayan dengan senyum yang sama sekali tak pernah berubah.
“Iya”, suara Fara pelan, hingga suaranya tertelan mesin lokomotif. “Terima kasih.”

Uap air mengepul dari cangkir coklat panas. Hilang. Tanpa sedikit pun berbekas. Ia membayangkan dirinya adalah uap itu, terbang dan sekejap lenyap. Orang-orang takkan pernah memikirkan uap air, mereka hanya memikirkan rasa di balik cangkir bukan uap air, pikirnya. Ia ingin sekali terbang dan hilang, entah ke mana angin akan membawanya pergi. Ia ingin sekali pergi jauh.

Gerbong restorasi tak sama dengan gerbong penumpang. Hanya ada beberapa orang. Tidak ada dengkur penumpang yang terlelap, atau tawa yang menyelimuti perbincangan. Ia melihat jam tangannya. Sudah lewat tengah malam, barangkali akan sampai, pikirnya. Ia kembali membuang asap rokok dan menyisakan sedikit untuk paru-parunya.

***

Kereta api terus melaju. Kencang. Kadang suara decit roda kereta terdengar seru, kadang tak terasa sama sekali, kadang kereta api tergopoh-gopoh, kadang seperti terbang. Kereta terus melaju mengantarkan beberapa orang di dalamnya, tanpa tahu siapa yang diantarkannya dan alasan kenapa ia tetap mengantarkan tanpa bertanya pada siapapun. Kereta tetap melaju, naik, turun, berkelok mengikuti alur rel.

Bayangan-bayangan masa lalu Fara kembali membanjiri lewat suara desah kereta. Ia melihat bayangan ayahnya. Tanpa sedikitpun rona sedih. Ayahnya tersenyum lalu hilang. Dadanya sesak.
Kerinduan kembali menusuk uluh hatinya. Rindu yang begitu beku dan kekal. Rindu yang begitu dingin. ‘Kenapa papa begitu lekas menghilang’, gumamnya dalam hati. Ia melihat sekelilingnya. Dinding-dinding kereta berubah menjadi dinding rumahnya.

“Jangan ingat-ingat papamu lagi!!”, Ibu Fara menatap tubuh Fara tanpa sedikit pun mengerdip. “Ia bukan lagi papamu.” Mata ibunya melotot, tubuh Fara gemetar. Dadanya kembali sesak.
“Tapi Fara sayang papa, ma”, bibir Fara gemetar menatap ibunya. Tak ada lagi kelembutan bidadari yang selalu dimimpikan Fara tiap malam. Ibunya berubah. Kejam, pikirnya dalam hati.
“Kalo mama bilang engga ya engga”.

Fara masih ingat ketika ayahnya melukis foto pernikahan kedua orangtua Fara. “Lukisan ini akan jadi kado ulang tahun pernikahan papa sama mama, bagus ngga?”, mata ayah Fara bersinar sambil menunjukkan lukisan yang belum rampung sempurna. Ia masih saja lembut seperti goresan-goresan dalam lukisan pernikahan dua puluh lima tahun lalu. Hanya beberapa kerut yang menempel dalam sela-sela wajah ayah Fara. Rambut yang berubah putih namun tetap panjang terurai. Goresan yang terlalu lembut dan halus. Ibunya begitu cantik serupa bidadari yang menghiasi lekuk-lekuk mimpi Fara.

“Papamu kerjanya hanya melukis, rambut aja yang digondrongin, tapi tanpa ada penghasilan. Mana lukisan-lukisan yang katanya berharga berpuluh-puluh juta”, Mata Ibu Fara menyala. Merah. Rasanya bidadari di kanvas itu telah berubah. Fara takut sekali. Fara hanya diam saja. “Kamu jangan lagi-lagi menemui papamu, biarin papamu hidup dengan dunianya di luar, mama sudah ngga peduli lagi. Sekarang kamu, Fara, harus ikut mama.” Fara tetap saja diam, tangannya direngguh.

***

Air mata Fara merembes di antara pipi yang sintal. Tubuhnya gontai. Malam semakin mendera tubuhnya. Kereta melaju, tak pernah melihat belakang. Alur rel mengatur jalan kereta, berkelok ke kanan, kiri, naik, turun. Tubuh Fara diam dalam kereta mengikuti Kereta. Asap rokoknya meluap, kunang-kunang berkejaran dengan kereta api di balik jendela. Langit makin gelap, makin padam. Dadanya kembali sesak. Jantungnya berdebam. Bayangan ayah dan ibunya lamat-lamat menjadi siluet kecil di ujung cakrawala. Begitu jauh.

***

“Maaf mbak, Kereta sebentar lagi nyampe. Mbak siap-siap aja, suka ramai di pintu kereta kalau pada mau turun.”
Fara terbangun, matanya masih berat. Pandangannya masih sayup-sayup. Ia mengeluarkan telpon genggamnya, tak ada tempat untuk pesan baru.
“Kalo mbak mau istirahat, di sekitar stasiun ada beberapa penginapan.”
Telpon genggamnya bergetar. Pesan mendesak. “Papa akan dimakamkan jam tiga sore.” Jantungnya berdegam.**

Semarang-Depok, 15-20 Juli 2010

Tidak ada komentar:

Posting Komentar