KataMini

KataMini

Jumat, 23 Juli 2010

Painem

Painem
Oleh: Biyanto Hitalesiakwany


Sejauh ini, mungkin hanya namanya yang sempat kuingat. Tidak bisa kuingat lagi wajahnya, senyumannya, maupun tingkah lakunya. Kala itu aku masih belum bisa membedakan antara hujan dan air mata, antara kiasan dan kenyataan.

***

Namanya Painem, yah tipikal nama orang Jawa, nama tunggal , tanpa embel-embel apapun dan menunjukkan kerakyatjelataannya. Kata orang dia adalah orang yang baik, polos dan sangat menghargai setiap kehidupan. Kehidupan yang mungkin bagi sebagian orang tidak berarti apa, ketika nafas dan darah sudah tercampur keserakahan.

Umurnya kala itu menjelang 60-an. Kata Ibu dia adalah pendukung rumah tangga kami yang paling loyal. Ibu suka menggunakan kata ‘pendukung’ karena dia tidak hanya pembantu tapi juga pendukung, karena tanpanya, kami tidak akan pernah bisa makan dan memakai pakaian bersih dan wangi.

Rutinitasnya sama setiap hari, bangun jam empat subuh, kemudian berberes rumah sembari memasak dan bersembayang subuh. Kata Ayah, beliau tidak mengetahui secara pasti agamanya, mungkin dia beragama alam, karena dia sangat mencintai alam. Dia suka berkebun, menanam bebungaan dan sayur-sayuran, seringkali menyiangi tetanaman itu.

Painem adalah orang yang jujur, suka menolong sesama dan tingkah pernah menunjukkan rasa lelah-letihnya akan pelayanan kepada kami. Kata Pakde, dia sudah bertahun-tahun menemani keluarga Kakek. “Tidak pernah sekalipun hal buruk menimpa keluarga kami, mungkin karena doa-doanya”, terka Pakde. Doa-doa yang dipanjatkan saat subuh menjelang dan maghrib tiba.

Bertahun-tahun kemudian, aku masih merindukkan sebentuk kasih sayang itu. Kasih sayang ketika dia memandikan dan mengikutsertakan diriku dan keluarga kami di antara panjatan doa-doanya. Raut mukanya memang tenang dan menyejukkan hati, dia merupakan dewi yang dikirimkan Tuhan kepada kami kata Eyangku. Eyang juga pernah mengatakan dia sudah mendukung keluarga kami selama empat generasi, sejak dia masih belum mengenal apa itu cinta bahkan sampai akhir hayatnya.

Menjelang kematiannya, Painem sempat berpesan bahwa dia minta dibakar saja. Dia tidak ingin merambah dan menjamah tetanahan yang bukan haknya, dia ingin selaras dan berbaur dengan alam melalui abu-abunya. Aku sempat bertanya pada Ibu, dimanakah abu-abunya disebar. Ibu mengatakan bahwa di pohon beringin depan rumah kami. Dia berpesan di akhir hayatnya, supaya ditabur di situ saja, supaya tetap bisa menjadi pendukung keluarga kami.

20 July 2010 18:48, MBTH

Tidak ada komentar:

Posting Komentar