Oleh Amri Mahbub Al-Fathon
Secara umum dimensi feminin dan maskulin selalu dikaitkan dengan keyakinan yang diterapkan pada gender, yaitu laki-laki dan perempuan[1]. Dimensi ini dapat pula dikaitkan dengan pandangan yang dikonstruksi oleh kebanyakan orang tentang perempuan atau laki-laki. Konstruksi tentang sifat dan ciri-ciri yang dianggap mewakili laki-laki dan perempuan; konstruksi tentang tingkah laku yang dianggap mewakili kaum laki-laki dan wanita, dan kelompok gender tersebut; juga tentang konstruksi mengenai peran-peran yang dianggap cocok untuk mewakili kelompok laki-laki atau perempuan. Konstruksi umum (masyarakat) mengatakan bahwa ciri sifat dan peran yang dianggap sesuai untuk laki-laki adalah ciri sifat dan peran-peran maskulin, sedangkan untuk perempuan dianggap lebih pas untuk perang-peran, ciri dan sifat feminin.
Dalam dunia psikologi, gambaran tentang ciri sifat maupun peran laki-laki dan perempuan tersebut sering dikenal dengan stereotip gender[2]. Mengutip pernyataan Christina S.Handayani di dalam Kuasa Wanita Jawa (2004), peran gender (gender roles) adalah apa yang diharapkan, ditentukan, atau dilarang bagi satu jenis kelamin tertentu. Jika stereotip gender terdiri atas keyakinan tentang ciri dan sifat dan karakteristik psikologis yang tepat untuk laki-laki atau perempuan, maka peran gender didefinisikan sebagai perilaku yang akan terekspresi dalam peran sosial yang dimainkannya.
S.L Bem dalam Bem Sex-Role Inventory (yang kemudian disebut BSRI) menguraikan lebih lanjut tentang dimensi feminitas dan maskulinitas. Dimensi feminitas biasanya mencakup ciri-ciri sifat berikut:
Penuh kasih sayang; menaruh simpati/perhatian kepada orang lain; tidak memikirkan diri sendiri; penuh pengertian; mudah iba/kasihan; pendengar yang baik; hangat dalam pergaulan; berhati lembut; senang terhadap anak-anak; lemah lembut; mengalah; malu; merasa senang jika dirayu; berbicara dengan suara tidak keras; mudah terpengaruh; polos/naif; sopan; dan bersifat kewanitaan.
Sedangkan dimensi maskulinitas mencakup beberapa ciri dan sifat sebagai berikut:
Mempertahankan pendapat/keyakinan sendiri; berjiwa bebas/tidak terganggu pendapat orang lain; berkepribadian kuat; penuh kekuatan (fisik); mampu memimpin atau punya jiwa kepemimpinan; berani mengambil risiko; suka mendominasi atau menguasai; punya pendirian atau berani bersikap; agresif; berpikir analitis atau melihat hubungan sebab-akibat; mudah membuat keputusan; mandiri; egois atau mementingkan diri sendiri; bersifat kelelaki-lakian; berani bersaing atau berkompetisi; dan bersikap/bertindak sebagai pemimpin.
Berdasarkan penelitian tentang struktur otak manusia ditemukan bahwa otak bagian kanan mengatur pikiran yang bersifat rasional (selama ini laki-laki dikenal dengan kemampuan rasionalnya: maskulinitas), sedangkan otak bagian kiri mengatur kemampuan emosional (mengacu pada ciri dan sifat feminitas)[3]. Jadi di sini terjadi dialektika dalam entitas tunggal; menggambarkan pemusatan dan penyatuan sehingga pikiran manusia itu mengandung unsur feminin sekaligus maskulin. Hal ini dijelaskan dalam konsep androgini.
Berkaitan dengan tersebut. Dalam proses penciptaan karya sastra, baik itu prosa dan puisi, pengarang tak bisa melepaskan dari unsur kedua otak manusia (kanan dan kiri). Bertolak dari hal-hal di atas, saya bermaksud menghubungkan sebuah karya sastra, dalam hal ini puisi karya Agung Dwi Ertato (selanjutnya disebut A.D.E) yang bertajuk “Aku Rahwana dan Kau Sinta”, yang terdapat dalam antologi puisi Jalan Pulang (2010), dengan konsep androginitas.
Dalam puisinya, A.D.E, baik sadar atau tidak, menimbulkan konsep androginitas yang saya jelaskan sebelumnya. Karya tersebut merepresentasikan masing-masing unsur feminitas dan maskulinitas di dalamnya.
Dimulai dari fragmen pertama, pada bait ketiga dan keempat:
“bolehkah aku berteduh?”
“tentu saja, kau bisa memakai perapian itu
untuk menghangatkan
tubuhmu”
Percakapan yang terjadi antara Rahwana dan Sinta tersebut secara tak langsung menelurkan keluhuran budi, penuh kasih sayang, menaruh perhatian kepada orang lain, mudah iba dan kasihan, berhati lembut. Percakapan tersebut tidak semerta-merta terjadi, tetapi ada sesuatu yang melatarbelakanginya.
/1/
ada hujan yang tibatiba datang
tanah membusungkan dadanya
menangkap satupersatu hujan
di antara hujan ada kau
aku berada pada sekian tanah
kau datang mengetukngetuk
rumahku
dengan tibatiba
kau buka pintu
--hujan semakin menderuderu
tubuhmu basah peluh
Dalam hal ini, Rahwana[4], sesosok tokoh yang digambarkan memiliki kekejaman, jahat, beringas, dan sewenang-wenang. Di tangan A.D.E, menjelma menjadi sesosok raksasa yang memiliki ciri dan sifat feminin. Mungkin A.D.E hanya meminjam karakter tersebut dari epos Ramayana yang berasal dari India, dan bermaksud menggambarkan bahwa Rahwana itu sebenarnya tak begitu adanya. Rahwana juga digambarkan memiliki sifat-sifat welas asih dan penuh kasih sayang.
Tak hanya pada fragmen pertama, sifat feminin yang dimiliki oleh Rahwana juga muncul pada fragmen kedua, bait ketiga,
“kembalilah pada rama
hujan tak lagi turun
aku takut kelak….”
Sifat mengalah yang ditunjukkan Rahwana yang menyuruh Sinta untuk pulang kepada Rama pada bait ini. Seperti yang saya sebutkan pada paragraf sebelumnya, mengutip pedapat S.L Bem bahwa mengalah ialah salah satu sifat feminin. Pada fragmen kedua, digambarkan terjadi pergolakan batin Rahwana yang sangat mencintai Sinta, yang saat itu dituliskan sedang berkunjung ke kediamannya. Namun Rahwana harus menyuruh (baca: mengalah) Sinta pulang ke Rama karena hujan sudah reda.
/2/
kau sinta
aku rahwana
dua senja telah berlalu
hujan sudah reda
--hanya serintik
yang kadang turun
Hujan dan senja digambarkan oleh A.D.E sebagai simbol kesedihan yang kehalusan rasa dan cinta yang dirasakan oleh Rahwana kepada Sinta.
senja telah datang
untuk ketujuh kalinya
merah dan menyemburat
merasuk ke dalam
celahcelah rumahku (fragmen kedua, bait kelima).
Pada fragmen ketiga, rasa kasih sayang, sikap memperhatikan orang lain dan memikirkan diri sendiri pun yang terstimulus ditunjukkan oleh tokoh Rahwana.
“aku rahwana, kau sinta
biarlah aku dilalap senja palsu
kembalilah pada rama-mu”
bisikku lirih pada sinta (fragmen ketiga, bait ketujuh).
Kesimpulan dari pembacaan saya kepada karya “Aku Rahwana dan Kau Sinta” karya A.D.E adalah: Terjadi sifat androginitas pada tokoh Rahwana. Tokoh Rahwana yang digambarkan pada epos Ramayana sebagai sesosok raksasa yang bengis dan kejam; penuh kekuatan fisik; mempunyai kekuatan memimpin; suka mendominasi dan menguasai; egois dan mementingkan diri sendiri (sifat maskulinitas), ternyata digambarkan oleh A.D.E juga memiliki ciri dan sifat feminitas (penuh kasih sayang; menaruh simpati/perhatian kepada orang lain; tidak memikirkan diri sendiri; penuh pengertian; mudah iba/kasihan; pendengar yang baik; lemah lembut; mengalah; sopan; dan bersifat kewanitaan).
Selain itu terjadi hubungan intertekstual yang dituliskan A.D.E di dalam karyanya yang berjudul “Aku Rahwana dan Kau Sinta”. Puisi A.D.E ini seakan-akan menggiring saya (atau para pembaca) kepada epos Ramayana yang berasal dari India. Hal itu, dinyatakan sebagai fenomena intertekstual, sebagaimana dikatakan oleh Kristeva (dalam Ratna, 2006: 178), bahwa setiap teks merupakan mosaik kutipan yang berasal dari semestaan anonim. Setiap teks bisa menuntun pembacanya ke teks-teks lain sesuai dengan pengalaman pembaca. Teks-teks itu berhubungan, tanpa dibatasi dimensi ruang dan waktu[5].
[1] Christina S. Handayani, 2004: 160
[2] Istilah sterotip gender digunakan untuk menguraikan aspek sosiologis, antropologis, atau kultural dari peran maskulin versus feminin.
[3] D. Goleman, 1998: 17.
[4] Sesosok tokoh raksasa dalam epos Ramayana.
[5] Aldi Aditya. 2009. “Mitos dalam Cerpen-cerpen Eka Kurniawan yang Terangkum dalam Gelak Sedih: Sebuah Tinjauan Intertekstual”. Skripsi. Jakarta: Program Studi Sastra Indonesia, Universitas Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar