KataMini

KataMini

Senin, 15 November 2010

Calonarang dan Sejarah yang Belum Selesai


Oleh Ibnu Rizal

     Berhadapan dengan novel Manjali dan Cakrabirawa berarti—di samping berhadapan dengan salah satu bentuk kerja dalam kesusastraan Indonesia kontemporer—juga berhadapan dengan dinamika kepenulisan Ayu Utami sebagai sastrawan Indonesia pasca Reformasi 1998. Di dalamnya kita melihat posisi dan sikap Ayu Utami sebagai sastrawan yang secara menarik dan konsisten melakukan pemaknaan ulang atas sejarah Indonesia.
     Selama ini pembacaan atas karya-karya Ayu Utami oleh sebagian kritikus sastra hanya berhenti pada wacana tentang tubuh, seksualitas dan pendobrakan terhadap nilai-nilai patriarki (ingat wacana tentang “sastra wangi” atau “sastra selangkangan” yang diberikan kepada sejumlah penulis perempuan Indonesia pasca 1998, salah satunya adalah Ayu Utami, yang sempat meramaikan dunia kritik sastra Indonesia kontemporer). Pembacaan ini pun pada akhirnya tidak menghasilkan diskursus yang sehat, bahkan cenderung emosional dan sekadar menjadi polemik yang usang dan kontraproduktif terhadap perkembangan kritik sastra Indonesia mutakhir.
     Pembacaan itu juga tidak komprehensif sebab hanya menyoroti aspek-aspek tertentu saja dalam karya-karya Ayu Utami (baca: seksualitas) dan menempatkannya sebagai sesuatu yang seolah-olah dominan, seperti yang terdapat dalam Saman (1998) dan Larung (2002), seraya mengabaikan hal-hal lain yang sebetulnya bisa berbicara lebih banyak[1]. Salah satu pembacaan kritis dan konstruktif terhadap karya Ayu Utami muncul dalam sayembara telaah sastra yang diadakan oleh Komite Sastra Dewan Kesenian Jakarta pada 2007. Kritik berjudul Saman: Identitas yang Bergelincir dalam Wacana Hutan yang Liar yang ditulis oleh Irsyad Ridho ini menjadi menarik karena ia mencoba memberikan pembacaan yang lain terhadap Saman dengan menempatkan roman pertama Ayu Utami itu sebagai korpus yang sesungguhnya potensial untuk memperbincangkan politik identitas dan pola relasi kuasa antara berbagai unsur naratif (khususnya tokoh dan latar) yang ada di dalamnya[2].
     Novel Manjali dan Cakrabirawa serta Bilangan Fu  (yang oleh penulisnya sendiri kedua karya itu disebut sebagai Roman Misteri – Seri Bilangan Fu) memperlihatkan suatu dinamika dalam kepengarangan Ayu Utami. Dinamika itu setidaknya diperlihatkan dalam tataran naratif. Kedua novel ini memperlihatkan strategi naratif yang berbeda dibandingkan dengan Saman dan Larung (yang merupakan dwilogi). Saya juga mencatat bahwa ada suatu jarak waktu penerbitan yang cukup jauh antara dwilogi Saman-Larung dengan seri Bilangan Fu. Dwilogi Saman-Larung yang ditutup oleh terbitnya Larung pada November 2001 sekaligus menutup terbitnya karya prosa Ayu Utami selama kurang lebih tujuh tahun (terhitung dari tahun 2001 hingga Juni 2008, yang ditandai dengan terbitnya Bilangan Fu). Selama kurun waktu itu tercatat satu buah kumpulan esai ditulis oleh Ayu Utami yang diterbitkan dalam buku berjudul Si Parasit Lajang: Seks, Sketsa dan Cerita (2003) serta sebuah naskah drama komedi satir berjudul Sidang Susila (2008, telah dipentaskan oleh Teater Gandrik) sebagai tanggapan kreatif dan kritis terhadap Undang-Undang Anti Pornografi. Naskah lakon ini merupakan kolaborasi dengan penulis Agus Noor.              
     Bilangan Fu sendiri, dengan jarak waktu kemunculannya yang jauh dan panjang dari karya prosa fiksi Ayu Utami sebelumnya (terpaut tujuh tahun dari Larung), memperlihatkan suatu bentuk narasi yang baru dari Ayu Utami, yang tidak kita lihat pada dua karya sebelumnya. Alur yang terbilang linear (tidak seperti Saman yang sangat fragmentatif dengan permainan aspek temporal dan spasial yang rumit) adalah salah satu unsur yang bisa dicermati dalam seri Bilangan Fu. Aspek kedua adalah pembagian cerita. Dalam Bilangan Fu dan Manjali dan Cakrabirawa Ayu Utami memotong serta memasukkan bagian-bagian ceritanya ke dalam sekuen atau bab-bab tertentu, satu hal yang tidak pernah dilakukan sebelumnya oleh Ayu Utami. Bilangan Fu terdiri dari tiga bab utama yaitu Modernisme, Monoteisme dan Militerisme di mana setiap bab terdiri dari belasan subbab kecil. Sementara Manjali dan Cakrabirawa juga terbagi ke dalam tiga bab besar : Rahasia, Misteri dan Teka-Teki. Pembagian bab yang jelas seperti ini membantu pembaca dalam melihat struktur kerangka seri Bilangan Fu secara lebih mudah.
     Di samping itu, Bilangan Fu dan Manjali dan Cakrabirawa menjadikan tokoh-tokoh berusia muda sebagai tokoh utama. Dua tokoh pria, yakni Sandi Yuda dan Parang Jati, adalah para pemuda yang selalu menginginkan aroma petualangan. Keduanya terikat dalam satu minat : panjat tebing. Bagi Yuda pemanjatan tebing adalah suatu jalan mencapai pembebasan, suatu cara melepaskan diri dari temali peradaban kota yang suntuk dan dangkal (artifisial) :
Sang pemanjat sejati tahu bahwa kerajaannya bukan dari dunia ini. Ia tak bermilik dengan kota, meski kota melahirkan dia sekalipun. Kota hanya bisa ia nikmati dari ketinggian nun jauh di malam hari sebagai pintalan sarang laba-laba bercahaya; jejaring galagasi listrik yang semakin tipis terurai untuk hilang di perbatasan hutan. Seorang pemanjat sejati adalah pertapa di selepas batas hutan. (Bilangan Fu, hlm. 11-12) 
     Hadir di antara Yuda dan Parang Jati seorang perempuan muda bernama Marja Manjali, kekasih Yuda. Mereka adalah para pemuda dan pemudi berpikiran segar dan berjiwa bebas: para petualang dalam caranya sendiri-sendiri. Ketiga tokoh muda inilah yang menjadi tokoh utama dari seri Bilangan Fu.
     Alur yang terbilang "mudah" dan linear, tokoh-tokoh fiksi yang belia, cara bertutur yang ringan (populer) cukup menandakan sebuah perubahan teknik naratif dalam karya Ayu Utami. Seri Bilangan Fu nampaknya membidik sasaran pembaca yang lebih muda, pembaca yang "ringan" serta tidak terbebani oleh kelam dan kerasnya sejarah negeri ini. Yuda dan Marja adalah representasi pemuda-pemudi kota yang memiliki sedikit ikatan emosional dengan sejarah dan politik nasional. Mereka adalah generasi muda yang seolah-olah terputus dari memori masa lalu. Generasi muda urban yang mengenyam kurikulum pendidikan sejarah di bangku sekolah melalui buku-buku yang ditulis dengan penuh manipulasi dan kebencian. Pendidikan yang pada akhirnya hanya melahirkan generasi muda Indonesia yang kering.
Marja menyesal, tetapi ia sungguh-sungguh tak menyangka bahwa sebuah nama (Cakrabirawa), yang baginya hanya ada di dalam pelajaran sejarah yang membosankan (…), ternyata bermakna begitu dalam dan pahit bagi sebagian orang. Itulah titik di mana ia merasa bahwa ia sangat jauh dari sejarah. (Manjali dan Cakrabirawa, hlm. 36)
     Pendidikan sejarah nasional di negeri ini membuat generasi mudanya teralienasi dari identitas kebangsaannya sendiri. Dalam kutipan dialog yang ringan, lugas dan jujur berikut kita melihat kesaksian Marja dan Parang Jati, sebagai generasi muda Indonesia yang menjadi korban dari bobroknya kurikulum pendidikan dasar di negeri ini, yang menjadikan sejarah nasional sekadar sekumpulan mitos hitam-putih yang patut diyakini:
"Iya. Cakrabirawa!" Ujar Marja lagi. "Aduh, bayangkan! Padahal aku kira tentang Cakrabirawa itu cuma mitos aja."
Terdengar suara Parang Jati di latar belakang : "Yang benar saja. Seumur hidup kita didoktrin untuk benci dan takut pada Cakrabirawa lewat pelajaran sejarah perjuangan bangsa."
Marja menyahuti Parang Jati : "Iya, iya! Justru karena itu aku jadi mengira itu cuma mitos. Kayak hantu. Karena terlalu ditakut-takuti, kita jadi ngeri sekaligus gak percaya bahwa mahluk itu ada benar. PKI, Cakrabirawa, itu begitu. Kayak hantu." Ngeri-ngeri gimana gitu, demikian Marja senang mengatakannya.
(Manjali dan Cakrabirawa, hlm. 68)      
     Meskipun seri Bilangan Fu terlihat lebih "lunak" dari segi naratif dibanding dwilogi Saman-Larung, tema, isu dan permasalahan yang hendak diteriakkan tetaplah penting, "keras" dan relevan dengan keadaan masyarakat Indonesia mutakhir. Bilangan Fu memperbincangkan spiritualitas, masalah ketuhanan, masalah ekologi, pluralisme hingga fundamentalisme agama (kekerasan dari kelompok sipil) yang akhir-akhir ini kian menggejala di tengah masyarakat. Tema-tema itu muncul dalam bingkai filsafat dan mistisisme Jawa yang dihadirkan secara kreatif. Dalam Bilangan Fu dan Manjali dan Cakrabirawa kita melihat kecenderungan Ayu Utami sebagai penulis yang secara konsisten menggunakan mitos tradisional, legenda dan takhayul yang tumbuh di tanah Jawa dan wilayah di sekitarnya untuk membicarakan berbagai hal yang ada di luar dirinya, seperti persoalan politik dan identitas.
     Perlu dikatakan di sini bahwa apabila Bilangan Fu menggunakan sudut pandang Yuda, Manjali dan Cakrabirawa menggunakan titik pandang Marja. Bilangan Fu menempatkan Yuda sebagai ‘Aku’ sehingga Yuda menjadi satu-satunya sudut pandang dalam medan narasi Bilangan Fu. Sementara Manjali dan Cakrabirawa memberi tempat yang longgar bagi sudut pandang Marja. Dan Parang Jati hadir di antara kedua sudut pandang itu, di antara Yuda dan Marja. Meskipun Manjali dan Cakrabirawa menggunakan sudut pandang orang ketiga, pemikiran, perasaan, dan kegelisahan Marja lebih kerap terwakili di sini. Dapat dikatakan bahwa Manjali dan Cakrabirawa adalah milik Marja, "gadis sembilan belas tahun yang mulai menginginkan kemerdekaan." (hlm. 6).
a.     Kemerdekaan sebagai Tema Penanda
     Kemerdekaan kiranya bisa menjadi kata kunci untuk menandai tema yang terkandung di dalam karya-karya Ayu Utami, sebagai sastrawan yang muncul pasca Reformasi 1998. Kemerdekaan juga menjadi semangat yang paling mendasar atas karya-karya sastra yang muncul dalam periode ini, setidaknya itulah yang terlihat dalam karya Ayu Utami. Kemerdekaan di sini tidak lagi sama maknanya dengan apa yang disuarakan oleh sastrawan angkatan 45. Kemerdekaan, bagi para penulis pasca 1998, adalah upaya untuk melepaskan diri dari otoritas "diri sendiri" (bukan sesuatu yang datang dari luar seperti era kolonial). Ia dan para penulis segenerasinya (yang kebetulan didominasi oleh sastrawan perempuan) tidak ragu-ragu memperbincangkan tubuh, gender, seksualitas, kekuasaan patriarki, militerisme, perlawanan terhadap dogma dan nilai-nilai, serta berbagai upaya rekonstruksi lain (sebuah semangat yang tidak mungkin bisa diwujudkan pada masa rezim represif dan militer Orde Baru[3]). Tetapi di antara para penulis pasca 1998 yang hadir dengan berbagai warna serta kecenderungannya itu, Ayu Utamilah satu-satunya sastrawan yang secara konsisten mengangkat tema Peristiwa 1965 dalam karya-karya prosanya.
     Tema Peristiwa 65 tidak pernah dibicarakan secara sedemikian kreatif, leluasa dan konsisten oleh sastrawan yang lahir dari generasi yang tidak mengalami secara langsung peristiwa kelam itu. Sikap Ayu Utami ini seperti menandakan suatu jarak, yang diharapkan memicu obyektivitas, dalam memandang suatu peristiwa politik dan kemanusiaan yang sangat penting di negeri ini. Peristiwa yang diam-diam terlupakan. Sikap ini seolah menjembatani antara apa-apa yang tidak bisa dikatakan di masa lalu (oleh generasi yang telah lalu pula) dengan kebutuhan aktual yang sangat mendesak dari generasi hari ini akan kenyataan sejarah yang belum selesai.
     Tema Peristiwa 65 setidaknya tercatat hadir secara cukup dominan dalam Larung (2001) dan Manjali dan Cakrabirawa (2010). Dalam Larung tema itu memang tidak menjadi tema utama. Ia hanya muncul dalam bagian pertama kisah tokoh Larung dalam misi perjalanan membunuh neneknya. Namun demikian ia tetap dibicarakan secara sangat menarik dan kreatif. Dalam Manjali dan Cakrabirawa, tema Peristiwa 65 menjadi sangat penting dan dominan dalam cerita. Bahkan boleh dikatakan bahwa novel ini sesungguhnya memang berbicara tentang hal itu (meskipun Peristiwa 65 bukanlah satu-satunya hal yang dibicarakan).
     Peristiwa 65 dalam karya-karya tersebut masuk ke dalam ruang kita hari ini melalui tokoh-tokohnya. Tokoh-tokoh tersebut, mungkin juga kita semua yang hidup sebagai generasi hari ini, memiliki hubungan dengan peristiwa itu, secara tidak langsung tentu saja. Dalam Larung kita menyaksikan bagaimana tokoh utama mendapati kenyataan historis dari sang nenek bahwa dirinya adalah putra seorang letnan yang tergabung dalam sebuah Batalyon di Kuta pada tahun 1964, dan pada 1965 juga ikut diseret oleh fitnah dan teror dari mereka, massa yang kesetanan dan terprovokasi oleh kebencian terhadap komunisme.
Kamu melihat semua itu. Putraku, orang yang kau panggil bapak, berpeluh di sudut kamar. Lalu ia mengenakan seragamnya, tanda kegagahannya yang terakhir. Tetapi ia belum memakai sepatunya ketika orang-orang telah tak sabar. Salah satu masuk dari dapur, mengira anakku akan kabur. Pemuda itu, dia baru belasan tahun, menghardik begitu keras seperti salak senjata. Seperti tiada lagi rasa hormat pada orang tua, ia bawa putraku pergi tanpa alas kaki, orang yang kau panggil bapak. Tidakkah kau ingat pantovel hitamnya berserak dan ibumu tersedak.
(…) Mereka membawa anakku ke banjar bersama yang lain, lalu memisahkan yang tentara dari yang sipil, dan menganiaya yang militer lebih kejam. Kulihat mereka menanggalkan seragamnya dan menggantung anakku pada pohon asam, sehari semalam, setelah mencambuknya dengan rotan dan popor, menindih tungkainya dengan kaki meja. Mereka mengubah wajahnya, meregangkan persendiannya. Apa kesalahannya, tak ada lagi orang yang bertanya. Sebab ia dikenal semua tentara di kompleks kita, sebab ia biasa datang dari rumah ke rumah mengurusi perdagangan beras subsidi. Maka ketika perwira harus menyebut orang-orang dalam pasukan yang terlibat dalam kudeta 30 September, semua menyebut namanya. (Larung, hlm. 68-69). 
     Dalam Larung Peristiwa 65 hadir dalam ingatan sang tokoh terhadap sejarah dirinya sendiri, melalui tatapan mata sang nenek yang mendedahkan kenyataan bahwa putranya, “orang yang kau panggil bapak”, ikut tertumpas dalam konflik politik itu. Sementara dalam Manjali dan Cakrabirawa Peristiwa 65 muncul melalui hubungan antara tokoh utama, Marja Manjali, dengan tokoh-tokoh di sekitarnya dan kejadian-kejadian kecil yang menyertainya.
     Kemunculan tema sejarah Indonesia dalam karya-karyanya cukup menunjukkan ketertarikan Ayu Utami terhadap masalah-masalah sejarah nasional yang belum selesai (dan kini sedang dilupakan oleh generasi muda) sekaligus memperlihatkan konsistensinya dalam mengangkat tema-tema itu secara kreatif, tidak hanya dalam medium teks prosa tetapi juga dalam bentuk skenario.
     Ayu Utami menulis cerita dan naskah untuk film Ruma Maida (2009). Film ini berbicara tentang upaya seseorang dalam menemukan sejarah masa lalunya. Pencarian ini membawa tokoh-tokoh di dalamnya pada titik-titik penting dalam timeline sejarah Indonesia, sejak masuknya tentara Jepang ke tanah air hingga kerusuhan Mei 1998. Para tokoh ini dihadapkan pada serangkaian fakta tak terduga tentang identitas diri, tentang hubungan paralel antara satu peristiwa sejarah dengan peristiwa sejarah yang lain (kita, generasi hari ini, sebenarnya selalu menjadi bagian dari kontinuitas itu, disadari atau tidak). Ayu Utami kerap menggunakan sejarah individu, sejarah personal, untuk membicarakan hal-hal besar dan barangkali belum final (seperti sejarah dan politik).    
     Telah disebutkan sebelumnya bahwa Ayu Utami kerap memanfaatkan piranti mitos-mitos tradisional, legenda dan takhayul lokal (dalam hal ini Jawa) untuk mengatakan hal yang lebih luas. Dalam Saman kita melihat penggunaan mitos tentang para raksasa sebagai alegori untuk para lelaki dewasa yang diam-diam didambakan oleh tokoh Shakuntala remaja, hasrat gadis belia akan pria yang lebih tua, birahi yang diharamkan oleh norma susila dan keluarga. Raksasa itu tinggal di dalam rerimbun hutan bersama para jin, peri, juga mambang.
Aku keturunan peri. Aku tinggal di sebuah keputrian di mana semua anak menari. Di sekeliling komplek itu terbentang bukit-bukit yang ditinggali raksasa: buta cakil, buta rambut geni, buta ijo, buta terong, buta wortel, buta lobak. Buta-buta galak. Mereka adalah musuh dan olok-olok para satria, yang mengatai mereka sebagai buron yang aneh dan remeh. Tapi aku jatuh cinta pada salah satunya. (Saman, hlm. 120)
     Mahluk-mahluk mistis nan ganjil ini dimaknai kembali dalam konteksnya yang baru. Setan-setan dan para demit juga mendapat tempat dalam Bilangan Fu. Mereka, mahluk-mahluk yang mungkin kini menjadi perihal usang dalam ingatan kita, muncul kembali untuk "menantang" (mengkritisi) modernitas dan apa-apa yang dihasilkannya: kerusakan lingkungan, keterpecahan identitas masyarakat, punahnya tradisi oleh kehadiran teknologi (khususnya televisi) dan sebagainya. Melalui latar rural pedesaan Ayu Utami menyingkir ke wilayah pinggir (periferi) untuk melihat "kota" dari suatu jarak, dari kejauhan, dari ketinggian bebukit cadas di selatan Jawa dalam Bilangan Fu. Hal ini kemudian menjadi ironis karena ternyata di dalam "yang rural" dan "yang desa" pun, modernitas juga sedang beroperasi, salah satunya, sekali lagi, melalui televisi.    
b.    Legenda Calonarang dalam Larung dan Manjali dan Cakrabirawa
     Penggunaan legenda Calonarang sebagai motif yang dominan memperlihatkan perhatian Ayu Utami terhadap posisi perempuan di tengah konstelasi politik dan kekuasaan dalam kedua karya prosa itu. Dongeng Calonarang adalah cerita tentang para perempuan "subversif" yang menyempal dari otoritas raja. Mereka (Calonarang dan murid-muridnya) ditakuti dan dibenci oleh para pemegang otoritas yang khawatir stabilitas kerajaan Airlangga terguncang. Oleh Ayu Utami legenda yang pada dirinya sendiri sudah menyimpan muatan subversif itu disandingkan dengan konflik politik nasional tahun 1965 yang juga "subversif". Dialog Parang Jati kepada marja tentang berbagai versi cerita Calonarang (atau Calwanarang)[4] dapat menegaskan hal ini:
Tapi, versi yang lebih dihormati tersimpan dalam kitab daun lontar di puri-puri Bali. Kitab-kitab ini tak boleh dibaca secara sembarang. Dari geguritan dan kidung-kidung Calwanarang inilah kita mendapat kesaksian mengenai Prabu Airlangga dan Kerajaan Kahuripan. Dalam kekitab lontar itu dikisahkan bahwa Calwanarang adalah seorang perempuan sakti yang hidup di masa pemerintahan Airlangga. Ia melakukan “ilmu kiri”, yaitu kebalikan dari “ilmu kanan”.
(Manjali dan Cakrabirawa, hlm. 24)
    Dalam Larung kisah Calonarang dan tema Peristiwa 65 selalu dihadirkan secara bersamaan. Keduanya saling berkelindan. Kisah Calonarang dilekatkan pada konteks Peristiwa 65 yang amis darah, penuh luka dan gelimpangan jenazah, seperti yang terdapat dalam kutipan panjang penuturan tokoh Larung berikut:
Sayup-sayup pernah kudengar orang membaca lontar di kebun belakang (cahaya samar pada kelir, blencong yang kerlip-kerlip). Sebuah kisah tua tentang rangda yang menghirup darah, satu janda dari Jirah dengan payudara menjuntai dalam belang putih hitam, yang membangunkan orang-orang mati yang masih segar dan menggiring mereka dari kuburan ke pertapaan untuk diolah sebagai perhiasan, bukan makanan. Mayat yang membusuk mereka tinggalkan bagi anjing dan burung nasar. Jenazah dibariskan dan orang-orang mati itu menangis ketika tiba giliran disembelih untuk aksesori. Air mata mereka menetes sampai ke tanah tetapi butir-butir itu hilang sebab bumi Jirah yang haus segera menyerapnya. Lalu Ni Rangda keluar dari biliknya, telah mengenakan pending dari paru-paru, anting limpa, dan usus dijadikan kalung bergulung-gulung, kancing bola mata. (Para muridnya telah mencuci organ-organ itu dari darah, seperti ibu membersihkan isi perut ayam, sehingga aku bisa melihat gelembung-gelembung alveoli pada pleura yang keunguan, usus yang krem oleh lemak, simpul-simpul, limfa seumpama bros, juga empedu yang hijau bagus, mata yang seperti telur asin.) Demikian ia berdandan di antara sesaji. Tetapi nenekku berkata kepadaku (nenekku ataukah Ni Rangda yang berkata kepadaku?): Diamlah, Nak. Jangan benci. Sebab dendam menyelamatkan kita dari dendam yang lain, kematian menghidupkan kita dari kematian yang akan datang. Kejahatanku mengusir orang-orang yang mengutuki kita.
(…)
Tiga bulan setelahnya, aku mendengar suara burung dandang berkitar-kitar di bubungan, dan pagi-pagi buta orang-orang berkumpul di pelataran rumah. Mereka mengetuk pintu dan membawa ayahku keluar rumah, tanpa obor, hanya sentir yang cahayanya rapuh. Aku melihat ia menjauh, semakin kecil ke dalam gelap. Tetapi bayangannya semakin besar sebelum pudar, seperti molekul-molekul ketika sebuah benda padat menjadi gas. Lalu Simbah menjauhkan aku dari Ibu yang menangis. Ia menutup segala jendela dan berkata, “Lupakanlah.”
“Bapakmu mati oleh dendam orang-orang yang membawanya.”
Namun nenekku berhasil mengusir mereka yang datang lagi untuk mengambil kami semua. Ia mengenyahkan orang-orang yang mengepung hanya dengan berdiri di depan pintu, memandang ke arah laut. Sejak itu kutahu ia menyimpan rahasia dalam tubuhnya.
(Larung, hlm. 12-13)
     Jika kita membaca kutipan bagian ini secara teliti, niscaya kita akan melihat moda yang digunakan Ayu Utami dalam menempatkan fragmen kisah mengenai Calonarang dan fragmen peristiwa penculikan sang ayah dalam konteks tragedi politik 65. Bagian ini memberikan penuturan yang mendetail tentang Calonarang, Nyi Rangda dari Desa Girah (atau janda dari Jirah) yang mengumpulkan mayat dan mempreteli tubuh-tubuh jenazah itu untuk dijadikan perhiasan. Deskripsi ini mempertegas keperkasaan dan kesaktian sang ratu penyihir yang telah membuat Raja Airlangga merasa tak berdaya dan terancam. Dalam ingatan masa kecilnya yang samar, yang barangkali telah bercampur dengan mimpi tak sadar, Larung mengingat sang nenek berbicara kepadanya, seolah menanggapi kisah di atas daun lontar yang baru saja dibacakan. Larung kecil yang jeri dan ketakutan akan visualisasi mengerikan tentang Calonarang yang mengenakan potongan organ tubuh manusia sebagai perhiasan, mendengarkan petuah sang nenek untuk tidak membenci apapun, termasuk apa yang dianggap jahat dan menjijikkan. Sosok nenek yang berbicara ini mengalami ambivalensi dalam ingatan Larung. Ingatan masa kecilnya yang samar dan jauh tidak lagi sanggup membedakan siapa yang sebetulnya berkata kepadanya dulu, sang nenek atau sang ratu sihir. Sebab bisa diduga bahwa Larung tanpa sadar melakukan analogi terhadap tokoh neneknya yang sakti dan perkasa, yang bisa mengusir massa yang murka hanya dengan berdiri di muka pintu dan mengeluarkan sorot matanya, dengan sosok Calonarang yang dalam kisah lain diceritakan mampu membunuh dan menghalau para prajurit Airlangga yang gagah dan penuh amarah[5].    
     Dalam Larung kita mendapat juga informasi yang sangat menarik bahwa sang nenek ternyata adalah seorang anggota Gerwani (Gerakan Wanita Indonesia), sebuah organisasi perempuan yang berkembang pada tahun 1960-an dan dituduh sebagai kaki-tangan Partai Komunis Indonesia oleh rezim Orde Baru. Representasi sosok nenek di mata tokoh Larung adalah seorang perempuan yang perkasa dan menyimpan rahasia dalam tubuhnya. Kutipan berikut memperlihatkan kesaksian sang nenek kepada Larung, yang disampaikan perempuan tua itu melalui sorot matanya yang tiba-tiba membuka:
Maka aku berdiri di muka pintu dan memandang ke arah laut ketika aku tahu para algojo itu dalam perjalanan. Telah kutunggu sebelum mereka tiba untuk mengambil menantuku juga. Kau mengintip dari celah jendela ketika orang-orang itu datang dengan lampu-lampu kecil. Kita mendengar suara laut, tetapi di sana tak ada kapal-kapal yang bercahaya. Hanya kilat mercusuar di kejauhan. Lalu kataku pada rombongan yang datang: aku yang tertua di kampung ini. Menantuku bukan gerwani. Kalaupun dia gerwani, dia punya bayi yang harus dibesarkan. Tapi akulah yang gerwani.
Lalu mereka pergi. Dan aku masih memandang ke arah laut beberapa saat lagi, merasakan gemuruhnya dalam ruang hampa diriku.
(Larung, hlm. 70)
     Membaca kesaksian sang nenek mengingatkan kita kembali pada salah satu bagian dalam Legenda Calonarang. Bagian yang menceritakan kedatangan balatentara Airlangga yang perkasa (para algojo itu) untuk membunuh sang ratu sihir. Namun dengan kekuatan dan ilmu yang dimiliki, Calonarang mampu membuat balatentara itu menjadi ketakutan, berlari tunggang-langgang dari istananya, seperti yang dikisahkan oleh Pramoedya dalam versinya. Kesaktian Calonarang ini menemukan kesamaan dengan kesaktian nenek Larung yang seorang aktivis gerwani (Gerakan Wanita Indonesia). Sang nenek berhasil mengusir massa yang murka dan mengamuk dengan kekuatan yang tersimpan dalam dirinya, sebagaimana Calonarang mengusir para prajurit Airlangga dalam versi Pramoedya.
     Sepasukan balatentara Raja yang berkuda itu laju menuju desa Girah. Panji-panji di barisan depan berkibar-kibar kena angina. Di tiap dusun yang dilalui ditiup sangkakala. Seorang yang berkuda di belakang pembawa panji berteriak melalui corong.
“Pasukan Balatentara Raja pergi menumpas Calon Arang!”
(…)
Segera kepala pasukan bersama dua orang pembantunya masuk ke dalam rumah janda tukang sihir itu. Ketiga-tiganya membawa pedang terhunus.
Prajurit-prajurit itu pun mendekatlah. Cepat kepala pasukan menjambak rambut tukang sihir itu. Dua orang pembantunya mengacungkan pedang terhunus di atas tubuh Calon Arang.
(…)
Tukang sihir itu pun bangunlah dari tidurnya. Melihat ketiga prajurit itu meluaplah amarahnya. Matanya merah. Sebentar kemudian menyemburkan api dari matanya itu. Juga hidung, kuping dan mulutnya merah padam mengeluarkan api yang menjilat-jilat. Terbakarlah ketiga prajurit itu.
Prajurit-prajurit lainnya yang melihat itu, lari pontang-panting.
(Dongeng Calon Arang, Pramodya Ananta Toer, hlm. 34-35)
     Intertekstualitas terlihat kuat di dalam kutipan ini. Baik tokoh nenek dalam Larung maupun Calonarang milik Pramoedya sama-sama memiliki kekuatan besar dalam menghalau massa (prajurit) yang murka dan datang dengan penuh kebencian. Kedua perempuan perkasa itu sama-sama menggunakan sorot mata untuk menghadang mereka yang datang dengan kemarahan. Jika dalam Larung deskripsi tersebut dihadirkan secara realis, di dalam Dongeng Calonarang peristiwa itu muncul dalam wujud deskripsi yang metaforis. Pramoedya menggunakan metafor “api” yang menyembur tidak hanya dari mata, tetapi juga hidung dan mulut. Api itu membakar para prajurit yang hendak membunuhnya, seperti mengusir orang-orang yang hendak mengganyang sang nenek yang gerwani dalam Larung.
      Pada titik ini kita melihat bahwa Ayu Utami, secara kreatif dan konsisten, adalah sastrawan perempuan Indonesia kontemporer yang memanfaatkan legenda  tradisional untuk mengatakan sesuatu yang lebih aktual dan belum final: malapetaka dan bencana sosial tahun 1965. Dalam Larung dan Manjali dan Cakrabirawa, kedua hal ini dihadirkan ke tengah-tengah kita, dalam caranya yang berbeda.


[1] Kegelisahan ini juga disadari oleh penyair Sitok Srengenge yang menulis: “Kesemarakan penciptaan (karya sastra dan produksi kesenian di Indonesia) tidak cukup diimbangi oleh peningkatan mutu yang memadai di bidang kritik. Sehingga, sebagaimana biasa, perbincangan seputar masalah sastra cenderung mengarah kepada gosip, bukan penilaian jernih sebagai hasil telaah yang komprehensif.” (Srengenge, “Menampik Gosip, Menakik Proses Kreatif”, kata pengantar untuk jurnal Prosa edisi 4: Yang Jelita, Yang Cerita, Penerbit Metafor, Jakarta:2004.
[2] Tulisan Irsyad Ridho dapat dibaca di buku Dari Zaman Citra ke Metafiksi: Bunga Rampai Telaah Sastra Dewan Kesenian Jakarta, Kepustakaan Populer  Gramedia, Jakarta:2010.
[3] Hal ini dapat dilihat dalam kesaksian Martin Aleida: “Tiga belas tahun saya ‘bersembunyi’ di TEMPO. Dua belas tahun saya ngumpet di ketiak Kantor Penerangan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNIC) di Jakarta. Langit masih saja mendung buat saya untuk bersaksi. Cengkeraman pemerintah pada media massa begitu kuatnya, sehingga tak ada celah untuk menumpahkan perasaan. Kesaksian saya atas sejarah tentulah sesuatu yang amis buat mereka yang mengelola penerbitan.” (Kata pengantar kumpulan cerpen Leontin Dewangga, hlm. xiv, Penerbit Kompas:2003). 
[4] Prof. Dr. Made Suastika, penelitik teks Calonarang, menyebutkan bahwa setidaknya terdapat 30 (tiga puluh) versi yang berbeda tentang cerita Calonarang yang ditemukan dalam naskah-nashkah kuno (Majalah Tempo, 12 Mei 2006,  Ni Rangda di Berbagai Tafsir oleh Seno Joko Suyono dan Kurie Suditomo).
[5] Salah satu deskripsi terbaik tentang Legenda Calonarang dalam khazanah sastra Indonesia modern terdapat dalam buku Dongeng Calonarang yang ditulis oleh Pramoedya Ananta Toer pada tahun 1954 (diterbitkan kembali oleh Yayasan Bentang Budaya pada 1999 dengan judul yang sama). Meskipun buku ini disebut “dongeng untuk anak-anak” (juvenile story) oleh pengarangnya sendiri, deskripsi tentang kutukan, darah, kematian, kebencian dan pengkhianatan yang ada di dalamnya terlalu berlimpah dan detail. Cara Pramoedya menggambarkan kematian balatentara Airlangga dan warga Kahuripan terlihat tampak keras dan gamblang. 

1 komentar:

  1. tak ada kata yang terluka untuk menjemput makna indah buat tulisan anda...
    terimakasih

    BalasHapus