KataMini

KataMini

Senin, 15 November 2010

Menemukan Jouissance dalam Bahasa Perempuan


Oleh Maulida Raviola

“Ketika perempuan mengeksplorasi area tubuhnya yang beragam, perempuan akan belajar untuk memikirkan pemikiran, untuk menggunakan kata-kata, dan melakukan tindakan yang cukup kuat untuk menggantikan (pemikiran, kata-kata, dan tindakan) falus.” (Tong, 2004: 298)
     Dalam perspektif feminisme pascamodern, perempuan senantiasa berada dalam posisi tersubordinasi karena hidup dalam dan menggunakan bahasa yang diciptakan oleh laki-laki. Bahasa ini tidak hanya menciptakan keterbatasan bagi perempuan untuk bertutur, tetapi juga menjadi satu-satunya referensi bagi perempuan dalam mendefinisi diri. Karenanya, selama perempuan terbelenggu dalam bahasa laki-laki, selama itulah perempuan akan selalu menjadi yang Lain, the Other. Dan pada akhirnya bagi mereka hanya ada dua pilihan: bergumam atau sama sekali bungkam.
     Karenanya, para feminis pascamodern seperti Helene Cixous, Luce Irigaray, dan Julia Kristeva sama-sama mengangkat permasalahan mengenai kemungkinan terciptanya “bahasa perempuan”: bahasa yang memungkinkan bagi perempuan untuk mengungkapkan pengalaman, perasaan, dan pengetahuannya dengan kata-kata yang tidak bersifat parasit dan menempel pada pemikiran falogosentris. Seperti Helene Cixous, misalnya, yang enggan menggunakan istilah seperti “feminis” dan “lesbian” karena kata-kata tersebut memiliki konotasi atas sesuatu yang merupakan “penyimpangan dari suatu norma dan bukannya merupakan pilihan seksual yang bebas atau sebuah ruang publik untuk solidaritas perempuan.” Dengan kata lain, bahasa perempuan diperlukan tidak hanya untuk membuka ruang bagi suara perempuan dan merayakan pilihan-pilihannya, tetapi juga membebaskan perempuan dari norma subyektif laki-laki.
     Dalam upaya membentuk bahasa perempuan inilah kemudian isu seksualitas dalam tulisan perempuan menjadi penting. Setidaknya begitulah yang dikemukakan oleh Cixous, bahwa dalam upaya menciptakan bahasa perempuan, seksualitas feminin dan tubuh perempuan adalah sumber dari tulisan perempuan. Tulisan perempuan inilah yang mampu mendorong perempuan untuk memindahkan posisi dirinya ke dalam kata-kata. Tulisan ini pun tidak hanya sebuah gaya tulisan, tetapi juga membuka kemungkinan untuk perubahan, ruang yang dapat berfungsi sebagai garda bagi pemikiran subversif, serta menjadi gerakan pendahulu dari transformasi standar sosial dan budaya.
     Meski demikian, adakah kemungkinan untuk menciptakan bahasa perempuan dengan menggunakan kata-kata dari bahasa laki-laki, serta dalam posisi yang berada di tengah-tengah kebudayaan yang patriarki? Akankah upaya tersebut sia-sia karena para penulis perempuan tetap saja terbelenggu dalam suatu sistem representasi maskulin? Tuduhan seperti ini, setidaknya, telah sering ditujukan kepada karya-karya penulis perempuan kontemporer, tidak terkecuali Ayu Utami. Karya-karya penulis perempuan kerap dianggap sebagai karya yang terlalu mengumbar seksualitas perempuan dan mencari sensasi.
     Hal ini diutarakan Manneke Budiman (dalam Rahman, 2007: 128), yang menyebutkan bahwa senantiasa terjadi pro dan kontra di seputar vulgaritas penggambaran seks serta eksploitasi murahan terhadap seksualitas perempuan dalam karya penulis-penulis perempuan kontemporer seperti Ayu Utami, Dinar Rahayu, maupun Djenar Maesa Ayu. Budiman pun lebih lanjut menyertakan pendapat Medy Loekito bahwa bacaan “tak sehat” (yaitu karya-karya penulis perempuan tersebut) hanya akan mengarah pada “degradasi moral”, dan Sunaryono Basuki yang menyatakan kecurigaannya bahwa penulis yang terpukau dengan isu seks boleh jadi dalam kehidupan nyatanya tak sungguh-sungguh mengalami kelainan seksual, sehingga karya-karya mereka lebih banyak dimotivasi oleh hasrat untuk membuat sensasi alih-alih sebagai ungkapan pengalaman yang nyata. (Rahman, 2007: 130).
      Ada sebuah pesimisme dalam tanggapan-tanggapan tersebut. Tuduhan bahwa tema seksualitas diangkat oleh perempuan untuk mencari sensasi pun pada akhirnya membuat kita lantas bertanya: mungkinkah bahasa perempuan diciptakan selama penulis perempuan tetap menggunakan bahasa laki-laki? Mungkinkah bahasa perempuan dibentuk melalui karya-karya penulis perempuan, tidak terkecuali dalam Manjali dan Cakrabirawa?

a.     Mencari Jouissance Melalui Marja

“Gadis sembilan belas tahun biasanya bergairah karena menjadi obyek, bukan karena menjadi subyek.” (Manjali dan Cakrabirawa, hlm. 4)
     Jacques Derrida, meski kerap disalahkan oleh para feminis pascamodern karena kecenderungannya untuk memistifikasi dan meromantisir perempuan, mengemukakan adanya kemungkinan bagi terciptanya bahasa perempuan. Bahasa perempuan ini bukanlah sebuah bahasa yang lain sama sekali dengan bahasa yang telah ada, melainkan bahasa yang bebas dari tiga aspek yang membelenggu dalam bahasa patriarki, yaitu logosentrisme, falosentrisme, dan dualisme.
    Dalam hal ini, bahasa harus dibebaskan dari makna yang biner, dan perempuan harus memindahkan posisi dirinya dari objek menjadi subjek. Kemungkinan inilah yang dicoba dieksplorasi oleh Ayu Utami dalam karya-karyanya, mulai dari Saman hingga Manjali dan Cakrabirawa (MC). Sejak kemunculannya, Saman tidak hanya menandai suatu periode ketika produksi dan eksplorasi tema serta gaya penulisan dalam bidang sastra menjadi begitu pesat, tetapi juga memungkinkan sastra menjadi suatu arena dalam pembentukan bahasa perempuan melalui tema-tema seksualitas dan ketubuhan.
    Menurut Cixous, hampir semuanya dapat ditulis oleh perempuan tentang femininitas: tentang seksualitasnya yang kompleks dan tidak ajeg, tentang keterangsangan yang tiba-tiba dari bagian tubuh yang kecil, yang merupakan bagian dari area luas tubuh perempuan, tentang petualangan, perjalanan, penyeberangan, kebergegasan, kebangkitan kesadaran yang tiba-tiba dan terus menerus, tentang penemuan zona yang malu-malu, dan pada saat yang sama, terus terang (Tong, 2004: 296). Hal inilah yang kita temukan secara gamblang melalui tokoh Marja. Melalui Marja, kita temukan perempuan muda yang, pada saat yang sama, memiliki kekuasaan sekaligus ketakkuasaan atas tubuhnya, mengalami petualangan, perjalanan, dan penyeberangan dalam aspek seksualitasnya, serta mengungkapkan diri dan hasrat secara malu-malu sekaligus terus terang.
    Dalam pengungkapan diri melalui seksualitas inilah, Marja memiliki otonomi atas dirinya dan senantiasa berganti-ganti menjadi subyek maupun obyek. Namun satu hal penting yang dapat kita pahami mengenai perempuan, melalui Marja, adalah kesadaran dan kehendak diri perempuan untuk menjadikan dirinya sendiri sebagai obyek. Marja menjadi obyek bukan karena ia menyadari posisinya yang berada di bawah laki-laki. Marja menjadikan dirinya sebagai obyek dengan kuasa penuh atas dirinya sebagai subyek. Marja adalah diri yang tunggal dan plural—dan hal ini tak dapat kita pahami kecuali dalam teks yang ditulis oleh perempuan.
      Pengungkapan bahasa secara personal melalui karakter Marja pun memungkinkan perempuan sebagai pembaca untuk menemukan apa yang disebut Jacques Lacan dengan jouissance—tingkat kenikmatan seksual yang feminin. Meski jouissance tidak dapat dipikirkan ataupun dituturkan dalam bahasa laki-laki karena ia secara total terepresi dalam tatanan simbolik, ia mencari bahasa nonfalik yang dapat memikirkan dan menuturkannya. Pencarian akan jouissance inilah yang akan mendorong karya-karya para penulis perempuan terus menerus mengalami eksplorasi tema, serta mendorong para pembaca perempuan untuk terus membaca karya para penulis perempuan tersebut (atau mungkin bahkan mencoba menulis dalam bahasanya sendiri?), dan pada akhirnya jouissance akan menemukan kata-kata untuk mengekspresikan dirinya. Ketika itulah, jouissance akan melepaskan diri dari pemenjaraannya dan menghancurkan sekaligus tatanan simbolik dan pendukung utamanya, patriarki (Tong, 2004: 290).
b.    Menuju Bahasa Perempuan

    Karya sastra perempuan, yang ditulis oleh perempuan dan berisi tentang kisah perempuan, senantiasa akan menjadi bagian terpenting dalam proses pembentukan bahasa perempuan. Tidak hanya bagaimana perempuan bertutur dan menemukenali dirinya melalui tulisan, tetapi juga menciptakan suatu tatanan simbolik baru yang khas perempuan. Tema seksualitas perempuan pun akan senantiasa bertahan menghadapi berbagai tuduhan, karena meskipun penggunaan kata-kata tetap terbatas dalam bahasa laki-laki, perempuan sebagai penulis mencoba menuturkan jouissance yang hanya dapat dipahami oleh sesama perempuan. Proses ini menjadi amat penting, karena tema seksualitas adalah salah satu aspek penting dalam menumbuhkan kesadaran atas otonomi diri perempuan, hingga akhirnya jouissance tersebut dapat terbahasakan.
     Permasalahan perempuan sejatinya adalah permasalahan keterpisahan atas diri dengan tubuhnya, dan tema-tema seksualitas lah yang menyatukan diri perempuan dengan tubuhnya dan membuat perempuan tidak hanya menemukan jouissance, tetapi juga membuat perempuan merasa sebagai individu yang utuh. Mungkin memang saat ini kita tidak tahu akankah perempuan dapat terbebas sepenuhnya dari bahasa yang “logosentris, falosentris, dan dualis”, tetapi pada saat ini karya sastra perempuan sepenuhnya diperlukan sebagai ruang bagi perempuan untuk bercakap-cakap dalam bahasa yang sarat dengan perasaan, pengalaman, dan pengetahuan perempuan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar