KataMini

KataMini

Senin, 15 November 2010

Mengupas Candi Calwanarang dalam Manjali dan Cakrabirawa


Oleh Aditya R

     Dewasa ini eksistensi novel yang memasukkan unsur kesejarahan sangat jarang sekali ditemukan apalagi yang bersinggungan dengan kepurbakalaan. Novel garapan Ayu Utami yang berjudul  Manjali dan Cakrabirawa telah memenuhi syarat sebagai sebuah novel yang mengandung unsur kesejarahan dan kepurbakalaan dari sudut pandang yang berbeda. Pada novel Manjali dan Cakrabirawa kita bisa membaca rangkaian misteri yang terekam dalam perjalanan panjang manusia. Rangkaian demi rangkaian kebetulan dalam peristiwa yang melatarbelakangi perjalanan hidup manusia hanyalah sebuah perjalanan jejak langkah manusia yang berulang; pepatah lama yang berkembang pada kalangan masyarakat umum menyebutkan bahwa sejarah akan terus berulang. Pada Manjali dan Cakrabirawa, secara tidak langsung pembaca ditarik untuk berpikir secara rasional meskipun pada kenyataannya manusia masih sering mengaitkan sebuah peristiwa dengan mitos-mitos yang menjadikan peristiwa menjadi sebuah hal yang tabu.
a.     Candi menurut Novel Manjali dan Cakrabirawa
     Dari sudut pandang arkeologi dalam subbab “Rahasia”, yang termaktub dalam novel Manjali dan Cakrabirawa buah tulisan Ayu Utami, disebutkan telah terjadi penemuan sebuah candi yang belum tergali di suatu tempat dekat perbatasan Jawa Tengah dan Jawa Timur yang dilaporkan penemuannya oleh seorang petani. Ketiga tokoh yang berperan dalam penggalian candi Calwanarang adalah Marja, Parang Jati dan seorang arkeolog Prancis yang bernama Jacques Cherer. Jacques mengajukan pendapat bahwa candi yang mereka temukan adalah sebuah candi yang dibangun pada masa pemerintahan Airlangga, raja Kahuripan, pada awal abad ke-11 masehi.[1] Seorang tokoh dalam Manjali dan Cakrabirawa yang bernama Parang Jati menyebutkan bahwa candi-candi Jawa Timur berbeda dengan candi-candi yang terdapat di Jawa Tengah.
     Menurut tokoh tersebut, candi-candi di Jawa Tengah bernapaskan sebuah tempat peribadatan keagamaan atau kuil, sedangkan candi-candi Jawa Timur lebih kepada candi keluarga raja-raja. Dalam candi-candi di Jawa Timur tersimpan abu sang raja yang dikebumikan, di sana pula tokoh sang raja diarcakan dalam bentuk dewa karena raja menurut kepercayaan masa lalu adalah penjelmaan dari dewa yang turun ke dunia, dengan kata lain dapat disebutkan bahwa candi-candi Jawa Timur adalah makam.[2] Identifikasi candi sebagai makam pertama kali dilontarkan oleh Raffles.
     Pada masa Jawa Timur, masa berkembangnya Islam, bangunan-bangunan ‘candi’ lebih lazim disebut ‘cangkub’ sehingga Raffles dapat menarik kesimpulan dari kata ‘cangkub’ bahwa candi-candi Jawa Timur adalah bangunan pemakaman.[3] Seperti diketahui dari sejarah perjalanan masyarakat nusantara dan religi yang dianutnya, pada masa kedatangan Raffles di Pulau Jawa telah terjadi suatu masa yang sangat berbeda selama kurang lebih sekitar lima abad lamanya dengan yang terjadi pada masa candi-candi yang kita kenal sekarang masih difungsikan dengan baik oleh para masyarakat pendukungnya. Pada masa kedatangan Raffles di pulau Jawa, mayoritas penduduk pulau Jawa pada masa itu adalah penganut Islam sedangkan yang berkembang pada lima abad sebelum kedatangan Raffles adalah masyarakat yang mayoritas menganut Hindu-Buddha-Kepercayaan Lokal. Adanya rentang waktu yang lama tersebut tidak dapat dijadikan acuan yang valid oleh Raffles untuk menyamakan proses pemakaman sesuai Islam dengan Hindu, Buddha dan Kepercayaan Lokal pada satu garis horizontal.
     Masyarakat Jawa, khususnya pada masa Raffles berkuasa, tidak dapat diharapkan benar-benar tahu akan definisi candi yang mereka kenal setelah lima abad kehilangan kontak dengan candi yang dibangun leluhur mereka sendiri. Candi bagi mereka tetaplah menduduki tempat yang khusus, tetapi penuh dengan rahasia dan mitos yang menjadi bumbu-bumbu pelengkap sejarah masyarakat Jawa yang kadangkala tidak masuk akal sama sekali.
     Pengertian candi, peranan dan fungsinya dalam pandangan Prof. Dr. R. Soekmono berbeda dengan tokoh Parang Jati yang mungkin terinspirasi oleh Raffles ataupun peneliti kepurbakalaan sesudahnya seperti Wardernar, van Hoevell, Stutterheim, dan Veth yang masih beranggapan bahwa candi adalah makam. Soekmono mengajukan pendapat jika candi Jawa Timur yang kita kenal dewasa ini merupakan kuil dan bukan makam yang menyimpan abu sang raja. Sebenarnya sebagai makam pun candi sudah menjalankan peranan sebagai kuil. Pada kuil orang melakukan kebaktiannya menyembah dewa. Pada tempat tersebut, penyembahan terhadap dewa diwujudkan sebagai arca sang raja yang telah mencapai moksa. Oleh karena itu, dalam candi terdapat sifat penggabungan antara penyembahan kepada dewa dan pemujaan roh nenek moyang. Unsur dewa inilah yang telah menyediakan zat rohaniah dan menurunkannya dari dalam perigi candi, sehingga pada waktu upacara arca perwujudan raja yang telah moksa menjadi hidup. Unsur jasmaniah juga tidak mutlak harus berupa ‘jenazah’, melainkan dapat pula diwakili oleh pripih sebagai ‘peninggalan dewa’, maka keberadaan abu jenazah dalam candi sama sekali tidak diperlukan.[4]
     Hal menarik lainnya dalam novel ini yang berkaitan dengan sajarah kepurbakalaan adalah sebuah pernyataan mengenai candi-candi yang tersebar di Jawa Timur cenderung berukuran kecil dibanding mereka di Jawa tengah. Jika candi Jawa Tengah tampak seperti raja dempal dengan mahkota di kepala, diceritakan bahwa candi Jawa Timur bagaikan seorang perempuan Bali menyunggi sesajen yang menjulang. Tubuhnya ramping sementara atapnya menggapai langit lebih tinggi daripada tubuh yang semampai itu. Tapi atap itu terbuat dari ijuk atau bahan yang mudah lapuk, seperti pura di Bali, sehingga tak tersisa lagi pada masa kini dari segi hiasan dan relief justru candi Jawa Tengah terlihat lebih damai dan vegetatif sedangkan candi Jawa Timur lebih buas.[5] Pada kenyataan di lapangan tidak semuanya candi yang terdapat di Jawa Timur memiliki bentuk ramping seperti yang digambarkan di Manjali dan Cakrabirawa.
     Ada pula candi yang memiliki bentuk bergaya candi Jawa Tengah. Salah satu contohnya adalah candi Badut yang terletak di Malang. Candi Badut dibangun oleh Gajayana pada masa kerajaan Kanjuruhan yang sejaman dengan kerajaan Mataram Hindu-Buddha di Jawa Tengah. Candi Badut adalah candi Hindu-Siwa karena arca utamanya berupa lingga-yoni sedangkan relung-relung dari candi badut didukung antara lain oleh arca Ganesha, Durga Mahishasuramardini, dan Agastya. Selain itu candi-candi yang terdapat di Jawa Timur tidak semuanya memiliki atap yang mudah rapuh. Candi yang dibangun sebelum masa Majapahit, misalnya, umumnya memiliki atap candi yang kokoh. Pada masa akhir Majapahit baru kemudian dapat dilihat bahwa candi-candi dengan atap yang mudah lapuk dapat ditemukan dalam kasus Candi Sukuh yang kemungkinan besar dahulu beratap. Kedua candi tersebut dibangun pada masa kejayaan dan akhir Majapahit.
     Dengan adanya pandangan yang saling mengalami proses bertentangan, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa candi-candi di Jawa tidak dapat dibedakan dari segi tempat candi tersebut ditemukan, seperti adanya klasifikasi tersendiri mengenai candi Jawa Timur dan Jawa Tengah. Pembedaan seharusnya lebih dikerucutkan lagi kepada klasifikasi mengenai periode gaya arsitektur candi yang berkembang pada kalangan masyarakat tanpa dibatasi oleh tempat candi ditemukan.
b.    Arca Siva Bhairava
     Pada petualangan tokoh-tokoh tiga serangkai Manjali dan Cakrabirawa juga ada hal yang menarik lainnya untuk dikupas lebih jauh, yaitu penemuan arca Siva Bhairava pada situs Candi Calwanarang. Siva dalam perwujudannya sebagai Bhairava digambarkan dalam beberapa bentuk, antara lain Vatuka Bhairava dan Svarnakarsanabhairava. Parang Jati menggambarkan yang dilihatnya adalah Siva Bhairava yang juga disebut sebagai Cakra Cakra. Dia menggambarkan pada Siva Bhairava atau Cakra Cakra yang dilihatnya terdapat anjing, tengkorak, dan trisula.[6]
     Melalui tokoh Parang Jati, Arca Siva Bhairava digambarkan memiliki kemiripan dengan Vatuka-Bhairava. Arca Vatuka Bhairava bertangan empat digambarkan masing-masing tangannya membawa sula(tombak berujung tiga biasanya juga disebut sebagai trisula), pasa(tali untuk mengikat kaki dan tangan musuh, digambarkan sebagai simpul), damaru(gendang kecil), dan kapala(jenis mangkuk dari tengkorak manusia, tempat ini digunakan oleh Siva untuk tempat makan dan minumnya). Dalam bentuk penggambaran Siva sebagai Vatuka-Bhairava, binatang sebagai laksananya adalah seekor anjing. Siva dalam bentuk Vatuka-Bhairava mengenakan jatamakuta(pintalan rambut yang disusun seperti sorban dan biasanya pintalan rambut Siva diberi hiasan berupa candra-kapala yakni bulan sabit dan tengkorak) dengan mata ketiga di keningnya.[7]
     Pada subbab “Misteri” diceritakan bahwa dalam candi Calwanarang terdapat sebuah Arca Lingga Yoni yang terletak pada tengah candi dan di bawah arca tersebut tertanam sebuah kotak peripih yang ditanam pada sumur candi. Arca Lingga Yoni adalah wujud persatuan antara Siva dan Parvati.[8] Arca yang berwujud penyatuan antara sisi maskulin dan feminin tidak hanya terdapat dalam bentuk arca Lingga dan Yoni yang dimaknai sebagai bentuk alat kelamin lelaki dan perempuan, tetapi ada pula bentuk yang lain dari Siva dan Parvati yang disebut sebagai arca Ardhanarisvaramurti, yaitu wujud persatuan antara setengah laki-laki dan setengah perempuan.[9]
      Dalam novel ini, candi Calwanarang termasuk candi yang unik atau bahkan sebuah candi yang pada kejadian nyata dalam dunia kepurbakalaan belum pernah ditemukan, bahkan tidak pernah ditemukan. Suatu hal yang kiranya patut untuk digarisbawahi adalah candi ini ditemukan pada masa Airlangga dan dinamakan candi Calwanarang sesuai dengan penamaan penduduk setempat. Calwanarang mengacu pada cerita Calon Arang yang berkembang pada masa Airlangga. Akan tetapi, dari sisi kesejarahan, cerita Calon Arang tidak bisa dijadikan sumber primer sebagai data sejarah. Cerita-cerita sastra seperti Calon Arang hanyalah dapat menjadi sumber sekunder dan cerita Calon Arang berkembang pada masa sesudahnya. Penutur dari cerita ini terdapat di Bali dan bukan di Jawa meskipun tempat dan nama raja yang berkuasa, yaitu Airlangga, terletak di Jawa. Selain hal tersebut, kejanggalan lain adalah bahwa cerita Calon Arang tentu telah mengalami bentuk yang berbeda dari waktu pertama kali cerita tersebut berkembang karena seorang pencerita pastilah akan mengubah karya sastra menurut hal yang sesuai dengan apa yang dikehendakinya.
      Candi Calwanarang dalam Manjali dan Cakrabirawa mempunyai bentuk yang kurang lebih mirip dengan Candi Singasari. Unsur pembeda antara kedua candi tersebut terletak pada unsur penanggalan mengenai pendirian candi, tentunya candi Calwanarang hanyalah rekaan Ayu Utami belaka.  Candi Singasari dibangun pada tahun 1300 Masehi untuk menjadi tempat pendharmaan raja Kertanegara.  Sebuah prasasti yang berangka tahun 1351 Masehi menyebutkan bahwa Prasasti ini ditulis untuk mengenang pembangunan sebuah caitya atau candi pendharmaan untuk para brahmana suci.[10] Pada bagian candi terdapat yoni yang menjadi pasangan dari lingga, sedangkan pada relung sebelah selatan ditempati oleh arca Agastya, relung utara oleh arca Durga, relung timur oleh Ganesha, dan pada pintu masuk yang terletak pada bagian barat terletak arca Nandisvara dan Mahakala.[11] Pada bagian belakang arca Bhairava Siva terdapat inskripsi yang menyebutkan nama Chakrachakra, kemungkinan besar mengacu pada Chakrachakresvara. Seorang dewa yang berdiri di atas seekor anjing dan pada ciri-cirinya lebih mempunyai kesamaan pada Vatuka Bhairava. Arca Durga yang terletak pada sisi relung utara candi lebih mengacu pada bentuk arca Durga Mahishasuramardini. Adanya kesamaan antara Candi Calwanarang dan Candi Singasari, yaitu ditemukannya arca lingga yoni ataupun juga Siva Bhairava, telah membuktikan bahwa penulis buku ini kurang lebih paham tentang kesejarahan atau kepurbakalaan dalam perfektif yang berbeda. Ayu Utami melalui Manjali dan Cakrabirawa mencoba menuliskan arkeologi dalam sudut pandang sastra dan tentunya hal tersebut adalah sebuah hasil yang positif karena selama ini hasil penerbitan penelitian arkeologi hanya dibaca oleh golongan masyarakat yang terbatas.


[1] Ayu Utami, Manjali dan Cakrabirawa(Jakarta,2010), 23
[2] Ibid., 30
[3] Soekmono, Candi Fungsi dan Pengertiannya(Jakarta,2005), 1
[4] Ibid., 301
[5] Ayu Utami, op. Cit., 29
[6] Ibid., 33
[7] Ratnaesih Maulana, Ikonografi Hindu(Jakarta, 1997), 63
[8] Ayu Utami, op. Cit., 114
[9] Ratnaesih Maulana, op. Cit., 21
[10] A. J. Bernet Kempers, Ancient Indoensian Art., 78
[11] Ibid., 79

2 komentar:

  1. Setelah baca bukunya...memang tampak penguasaan Ayu Utami atas seni arsitektur candi dan arkeologi setidaknya sesuai porsi yang dapat disajikan dalam sebuah karya sastra. Kemampuannya mengilustrasikan Candi rekaan ini merupakan nilai plus, terlepas dari kaitannya dengan fakta tentang Calon arang dan legendanya.

    BalasHapus