KataMini

KataMini

Senin, 15 November 2010

Petrus


Aditya Rn

Petrus menempelkan ujung senapan ke kening Nyoto, keringat basah mengucur deras membasahi tubuh Petrus serupa runtuhan gerimis jatuh mencubit bumi. Nyoto hanya terdiam, dia tak mengeluarkan sepatah kata pun. Matanya memandang mata Petrus dengan tajam. Tetapi yang dipandangnya hanya menundukkan kepala. Ada rasa segan memuntahkan biji peluru ke tubuh Nyoto.
    “Saya hanya melaksanakan tugas pak,” ucap Petrus lirih
    “Saya mengerti, kamu juga butuh makan untuk bertahan hidup,” jawab Nyoto kalem.
     “Apakah bapak telah merelakan masa depan bapak saya ambil?”
     “Jika waktu menghendakinya maka ambil saja masa depan saya,” pungkas Nyoto penuh percaya diri. Matanya berbinar-binar memandang langit yang sedang sibuk mengintip dia dan Petrus.
     Pintu rumah terbuka lambat bagaikan siput yang terhanyut pada alunan merdu Kebo Giro. Teryata bapak telah pulang dari kantor. Aku benar-benar senang karena lusa bapak telah berjanji untuk merayakan ulang tahunku. Seperti biasa bapak datang dengan berlari, kemudian memelukku dan mencium keningku. Kasih sayang yang aku dapatkan dari bapak sama kiranya dengan kasih sayang yang mungkin aku dapatkan dari seorang ibu, ibu, dia telah pergi saat mengirimku ke dunia. Meskipun aku telah memasuki suatu masa menjadi bunga yang siap dipeluk kumbang, bapak masih menganggapku sebagai seorang gadis kecil yang manja.
     Sayup-sayup suara Tuhan yang dipanggil dari mikrofon terasa sangat bising petang itu. Bapak duduk di ruang tamu sambil menyeduh kopi hitam dan memanggilku untuk duduk bersama. Kami bercengkrama tentang sudut dunia yang dilupakan manusia hingga larut malam. Suasana ruang tamu yang sederhana mendadak hening saat bapak memutuskan untuk mengakhiri perbincangan kami. Kursi yang kami duduki tentunya sekarang telah merdeka, dia terlampau capai menanggung beban tubuh manusia. Aku seperti biasa langsung menuju kamar tidur. Dinding kamar yang berwarna biru membawaku menjelajahi dunianya. Aku bisa melihat seluruh rupa kehidupan dan topeng-topeng manusia. Tanpa disadari aku telah sampai di ruangan yang besar namun hanya dihiasi oleh tubuhku dan bayanganku. Alangkah takutnya aku saat disampingku tak ada bapak lagi. Aku telah menjadi seorang ratu, penguasa atas alasan kehidupan. Tiba-tiba saja terdengar olehku derap langkah berat perwira yang datang semakin mendekat. Seorang prajurit tanpa memperkenalkan diri memberitahu jika bapak telah ditusuk Brutus.
     Aku membuka mataku. Seketika itu aku berlari menuju kamar bapak. Hati ini terasa sangat lega. Bapak masih hidup, dia sholat subuh di kamarnya, tak seperti biasanya karena bapak memang jarang sholat. Aku memandang bapak dari sela-sela pintu kamarnya. Pada pelepasan salam yang terakhir aku melihat bapak tersenyum, padaku atau kepada Tuhan, aku enggan mencari tahu. Tanpa kusadari pipiku telah basah oleh air mata yang telah menjadi sungai di roman wajahku. Deru angin subuh yang terasa semakin aneh.
     Pagi yang ditunggu akhirnya datang. Aku akan merayakan ulang tahun hari ini. Saat itu masih kulihat bapak telah bersiap mengantarku ke sekolah dan senyumnya yang kalem semakin menyejukkanku. Tiba-tiba datang seorang tamu berpakaian militer. Dia tidak masuk ke dalam rumah, hanya berdiri tegap di depan pintu seperti patung. Bapak langsung menghampirinya dan terjadi saling lempar kata sekitar lima menit. Dia menghampiri diriku yang berdiri dalam jarak lima langkah di belakang bapak. Dia meminta izin untuk membawa bapak sebentar saja. Meskipun begitu bapak tetap menyakinkanku bahwa dia akan pulang merayakan ulang tahun. Aku terpaksa berangkat ke sekolah sendirian. Aku langkahkan kaki menuju masa depan yang kurasa semakin tak pasti. Bapak tak pulang lagi ke rumah. Waktu yang semakin deras mengalir kuhadapi dengan sebatang kara, nasib manusia masih setia berjalan pada kesendiriannya. Aku harus bertahan hidup untuk menantikan kepulangan bapak. Dia pasti akan pulang, dia akan menepati janjinya.
     Lima belas tahun telah berlalu hingga pada akhirnya aku melihat bapak kembali. Halaman rumah telah basah karena tadi malam turun hujan badai. Tubuh bapak terlihat tak berdaya saat berhadapan dengan seorang lelaki yang telah lewat sedikit masa mudanya. Aku tampaknya mengenal lelaki itu lima belas tahun yang lampau. Dia tak asing lagi olehku, tampaknya dia adalah prajurit yang mengabarkan kematian bapak dalam mimpiku lima belas tahun yang lampau. Aku semakin dekat dengan mereka berdua. Seluruh tubuhku gemetar dihempas oleh kabut subuh. Tanpa kusadari amarahku telah memuncak dan siap memuntahkan pijar lahar merapi.
      “Bapak!” teriakku saat melihat Nyoto berada di ujung mautnya. “Aku telah lima belas tahun tak berjumpa dengan bapak, Mengapa kau akan membunuhnya?”
      “Maaf nona, saya hanya melaksanakan tugas negara,” bela Petrus.
      “Negara, apa itu negara? Negaramu hanyalah penindas rakyatnya, bukan?” jawabku semakin lantang menantang lelaki yang pada bajunya terpatri nama Petrus.
      “Kurang lebih memang begitu nona,” jawab Petrus singkat.
     Bapakku, Nyoto, hanya tersenyum padaku. Dia memandang mataku dan mengisyaratkan bahwa kebebasannya tinggal menunggu hitungan jari. Lima belas tahun yang lalu dia diambil paksa dariku dan mungkin dipenjara tanpa proses peradilan. Sekarang, dia menanti ajalnya di depan rumah dan anak perempuannya.
     Kekuasaan para penguasa yang menyamakan diri dengan dewa memang begitu menyiksa manusia. Kekuasaan yang mereka genggam adalah makhluk yang kejam. Dia telah berulangkali memisahkan rantai cinta kasih manusia. Dia yang telah merampas bapak. Kulihat rambut bapak telah memutih, kerutan di wajahnya telah menjadi saksi bisu jejak langkah yang dialaminya sendiri dan aku hanya hidup dalam ketidakpastian menanti bapak kembali. Bapak menjadi tampak muda kembali saat melihatku. Di depan rumah dia dikembalikan padaku dengan mulut senapan mengintai hidupnya. Lima belas tahun adalah waktu yang lama untuk bertemu kembali dengan bapak dan di depanku sekarang Petrus yang sempat hadir dalam mimpiku akan mengambil bapak selama-lamanya dariku.
     “Sekali lagi saya mohon maaf nona, saya hanya menjalankan tugas negara,” Petrus membela diri.
      “Apa salah bapak sehingga kau berhak mengambilnya dariku?” tanyaku.
      “Bapak nona terlalu berbahaya untuk terus hidup di negara ini, dia terlampau jujur untuk menyuarakan ketidakadilan yang telah diperbuat para penguasa.”
      “Dasar manusia laknat, kau dan negara yang busuk pasti akan mengulangi penindasan terhadap manusia lagi dan lagi!” teriakku pada Petrus disertai dengan lemparan batu.
      “Mengertilah nona, saya hanya menjalankan tugas negara, saya mohon pamit dulu. Bapak anda telah iklas menghadap palu keadilan yang sejati. Kekosongan.”
      Dooor, terdengar bunyi peluru dimuntahkan dari senapan. Para merpati di halaman rumah berterbangan mencari tempat menyelamatkan diri. Seandainya aku dan bapak seorang merpati pasti hidup tak akan menyedihkan seperti ini. Menjadi manusia adalah kutukan karena manusia lekat erat merangkai penindasan dengan manusia lainnya. Petrus telah tak tampak lagi, dia mempunyai kekuasaan yang lebih untuk dapat berjalan bebas mencari mangsa baru seperti bapak.
      “Bapak, aku pulang, hari ini aku datang untuk merayakan ulang tahunku yang ke-20, teman-temanku telah menunggu di dalam rumah. Ayoh bapak, mari ikut masuk, jangan meninggalkanku lagi. Lihatlah diriku, aku juga bagian dari napas kehidupan yang pernah mengisi hatimu.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar