KataMini

KataMini

Senin, 15 November 2010

Perayaan Zaman ini—Kegelisahan Menemukan Diri dan Sebuah Petunjuk Jalan (untuk) Pulang


Oleh Frendy Kurniawan

Menulis puisi bagi kebanyakan orang adalah sebuah janji pelepasan. Pelepasan dari diri sendiri sebagai sebuah subjek yang rumit dan terkadang memilukan. Puisi kerapkali membantu melepas segala sesak di dalam dada, membakar segala yang menyeruak di ujung kepala dan menunjuk segala rupa yang ingin di kutuk. Puisi telah menjadi ruang penampung segala kegelisahan–terutama  anak-anak muda pada derap zamannya.
Bagi penyair Nobel sekelas Pablo Neruda, puisi diumpamakan layaknya roti yang dibagi-bagi setiap harinyasantapan  bagi rasa dan cecap kemanusiaan peradaban manusia. Itulah mengapa Neruda menyakini bahwa puisi lahir jauh hari sebelum tulisan ditemukan dan mesin cetak menjadi alat dan bagian dari kehidupan sehari-hari manusia.
Karenanya mengikuti Neruda, puisi adalah bahasa bagi kemanusiaan kita, menghubungkan dunia yang satu dengan dunia yang lain, mempertemukan jiwa yang satu dengan yang lain. Hingga semuanya akan menjadi begitu jelas—terbaca. Puisi menjadi ruh sakral yang membuat mitos menara Babel seakan hidup kembali lagi–manusia hendak memerikan misteri semesta, dari segala yang ada dan tersembunyi hingga semuanya dapat termengerti.
Lalu adakah kegelisahan anak-anak muda yang menuliskan puisi dalam hidup sehari-harinya adalah sebuah upaya membaca dunia dan semesta itu? Memerikannya? Dan kelak menghidupkan kembali bahasa kemanusiaan kita, pada zaman ini—pada zaman anak-anak muda itu hidup? Hendaknya proses itu selalu menambatkan impian ke sana.
Tulisan Perasaan : Kegelisahan Menemukan Diri
tertulis semua perasaan hati
yang bermakna dalam diam.
(Petikan dari Ku Katakan Dengan Tulisan –Adlia Nazila)

Anak-anak muda tak pernah tak menggelisahkan dunia perasaannyadunia yang kerap tak mudah dimengerti ataupun dipahami. Selalu saja ada yang tersisa dan mengganjal untuk dijelaskan pada semua—yang ada di sekitarnya. Menulislah dalam kata anak-anak muda itu, dalam langkah kisah yang kerap tak mudah terkatakan—menulis sebuah cerita curahan hati yang panjang tentang dirinya yang terus saja dipertanyakan dan ingin diperjelas selalu setiap waktu.
Nuansa pencarian diri dalam seluruh proses penulisan puisi pada kumpulan puisi di buku ini jelas sangatlah terlihat. Ini adalah proses kreatif khas dari anak-anak muda. Eksistensi diri kerapkali menjadi pusat dari seluruh rupa ketegangan dan pencariannya di dalam menjalani kehidupan sehari-harinya. Segala tulisan (puisi) lalu menjadi sebuah pelepasan perasaan hati. Inilah sebuah wujud upaya penyelamatan kegelisahan agar segera mereda—membeku dalam makna-makna yang terukirkan melalui rupa asing metafora.
Dalam proses itu memang tak selamanya mampu memberikan nuansa yang dapat dikatakan baik, sekalipun batas-batas mengenai baik dan buruk itu sendiri tidak selamanya dapat diberikan. Perlu sebuah ruang apresiasi yang mampu menyelamatkan seluruh curahan perasaan hati itu agar tak mengendap menjadi luka, yang nantinya menghilang pada kesunyian laju sejarah hingga tak berarti.
Anak-anak muda itu berhak mendapatkan ruang kegelisahannya hanya agar proses kemanusiaan bagi diri mereka sendiri dapat juga terjadi. Paling tidak mereka tak pernah merasakan sepi sendirisunyi dalam kebisuan rupa dunia yang tetap asing tak terperikan hanya karena tak ada puisi yang sempat tertuliskan. Puisi hendak menjadi penyelamat bagi jiwa-jiwa anak-anak muda.
jiwa mendekam
dalam kepiluan
hati terpaku
dalam kesendirian
(Petikan dari Kelam –Akbar Rizky Fithrawan)

Walaupun begitu, dunia dengan segala rupa kisahnya memang selalu tampak tak mudah untuk dimengerti secara mudah. Apalagi untuk sekadar menuliskannya. Selalu ada sendu di balik setiap tawa dan keriangan gerak. Selalu ada kata tanya di balik setiap wujud hadir yang mendekat. Mengapa semua ini menjadi seperti ini?
                Tidak ada yang bisa menjelaskan
                tentang sendu yang kurasakan
                (Petikan pertama dari Ode untuk Kapal –Agung Dwi Ertato)

Tidak mudah memang untuk menjelaskan semua yang menjadi gelisah rasa, semua yang menjadi sendu pada dada—bahkan melalui puisi itu sendiri. Karenanya, proses menunjuk pada medium puisi sebagai sebuah pelepasan perasaan pun jelas harus mempunyai langkah yang berbeda seperti misal menulis corat-coret pada buku harian—sekali pun puisi dapat menjadi ‘buku harian dari waktu kehidupan dan kisah-kisah’.
Perayaan Sastra Zaman Ini
Estetika seni hari ini memang telah berbeda dari zaman-zaman sebelumnya. Konvensi bukanlah menjadi panutan utama dari sebuah model berkarya—sekalipun pada setiap karya selalu ada warna jejak dari karya yang lain (terutama dari seniman bernama besar). Tetapi apalah arti dari semua itu? Pemikir yang hari ini selalu didengungkan suaranya semisal Derrida, telah menyatakan tidak dapat usaha untuk mencari dari ‘keaslian’ sebuah karya. Toh memang tidak ada sebuah gagasan yang memang benar-benar pertama ataupun dapat dikatakan absolut asli. Karenanya, pembelaan terhadap gagasan Derrida maupun dari dunia pascamodern yang lain telah memberikan kesempatan yang luas pada estetika sastra zaman ini. Semua orang berhak untuk berkarya—apapun itu.
Akhirnya memang sebuah perayaan besar mengenai diri ataupun gerak saling mengikuti dan menunjuk-nunjuk pada diri sendiri memang sedang menjadi sebuah tren. Dan sastra menjadi sebuah ruang yang kurang lebih mampu untuk menampungnya. Puisi sebagai sebuah medium sastra juga telah menjadi perayaan sehari-hari. Orang per orang dapat mengungkap dan bercerita setiap saat setiap waktu melalui sebuah perangkat teknologi informasi semisal jejaring sosial Facebook.
Selain dari perangkat teknologi itu, ruang perayaan sastra terutama puisi juga dapat dilakukan melalui media koran. Beberapa orang menyebutnya sebagai sebuah kategori sastra koran. Tidak dapat dipungkiri memang, ruang sastra dalam koran juga yang telah memberikan kesempatan pada media sastra puisi hingga tetap bertahan hari ini. Dalam dua ruang itulah perayaan sastra zaman ini tetap dapat berlangsung dan sekaligus menjadi tolak ukur bagaimana kondisi dan perkembangan karya-karya puisi bertahan.
Puisi pendek dan puisi narasi, itulah yang mungkin menjadi tren perayaan sastra zaman ini. Melalui kedua bentuk puisi itu, karya-karya dari kegelisahan anak-anak muda tertampung dalam kumpulan puisi pada buku ini. Sebut saja beberapa karya seperti Kemudian Berkemuka; Empat Sayap Mendung; Delapan Sonet yang Terserak di antara Kertas Lusuh; Jalang Pulang telah mengambil tren puisi narasi yang berkembang di dalam ruang sastra koran kita hari ini. Pola romantika dan melankolia seringkali menjadi rupa pembentuknya. Ini akan mengingatkan kita pada ragam karya pendahulu mereka seperti Gunawan Mohamad ataupun Sapardi Djoko Damono.
Ragam puisi pendek pun juga tampak menjadi bentuk tren. Lihatlah karya dengan judul Ketahuilah; Tentang Seseorang yang Datang Kemarin Malam (I); Jika Saya Menjadi Nyata; Terbungkam adalah beberapa puisi yang dapat dikatakan sebagai puisi pendek ataupun mendekati bentuk puisi pendek.
Puisi narasi dan puisi pendek selalu berusaha menemukan kegenitan suasana ataupun permainan liris bunyi pada pengucapannya. Proses membangunnya membantu untuk menghantar pada kisah ataupun cerita yang sedang disampaikan. Dapat diduga wajah kreatif seperti ini merupakan jejak dari kuatnya tradisi lisan pada budaya kita atau mungkin tradisi kepenyairan era 70-an yang membawa model romantik Barat. Aturan bentuk konvensi pembentukan dua jenis puisi tersebut pun juga tidak lagi terasa tegas. Estetika perayaan kreasi diri sebebas mungkin telah memberikan semacam legalitas untuk berkarya tanpa aturan yang kaku. 
Hal lain yang dapat dilihat dari karya-karya dalam buku ini adalah tema yang dicoba untuk digarap ataupun didekati oleh masing-masing penyair tersebut. Hampir semua yang digarap adalah tema terkait dengan psikologi eksistensial. Luapan maupun endapan berdetak yang terus saja menggetar dalam perasaan masing-masing. Itulah yang sedang digarap oleh puisi-puisi dalam buku ini. Walaupun juga terdapat puisi yang ditujukan untuk hal-hal lainseperti untuk kampusnya ataupun untuk kota dan beberapa wajah sosial.
Mungkin inilah bentuk ataupun juga pesan dan sekaligus makna-makna yang diam dan hendak meluap dari tulisan (puisi) di buku ini. Kegelisahan pada diri ditengah perayaan terhadap tren sejarah dan dunia yang terus menerus berceritasekalipun terlihat omong kosong (rupa dunia pascamodern) yang menghisap apa saja. Para anak-anak muda inidengan proses menirukan generasi sebelumnya, hendak melakukan pencarian penyelamatan diri, dari semua luka dan beban yang mendebar dalam sesak dada dan penat pikiran. Seperti yang terkatakan pada petikan ini:
Malam dan detik waktu tidak pernah mau mengerti tentang
kegelisahan kita yang terpaksa merana menelan keadaan.
Bagaimana aku bisa pulang jika tanganku terus melingkar pada nada
yang kita senandungkan seiring perjalanan.
(Petikan dari Jalan Pulang –Agrita Widiasari)

Puisi : Jalan (untuk) Pulang?
Kita mungkin memang hidup dalam keriuhan. Dalam sejarah yang selalu ingin kita percepatmelaju tak henti kepada masa depan yang terlalu kita buat sangat meyakinkan. Jalanan kita penuh jejalkan dengan alat-alat buatan kita, rumah telah kita isi dengan kotak ajaib penuh warna penuh cerita pertunjukan. Dan percakapan mengenai si ini dan si itu telah menjadi perbincangan serius pada meja-meja makan siang kita. Membual, mengkhayal dan juga menyampah (bahasa anak-anak muda untuk merujuk kegiatan yang tidak jelas tapi dilakukan untuk membunuh waktu) mungkin telah menjadi bagian dari diri kita saat ini. Apa yang dapat diharapkan dari semua itu?
Ada jarak antara yang mungkin sedang menganga pada diri kita saat inisetiap harinya. Ada rasa kehampaan ataupun kekosongan dalam jiwa kita, yang terkadang membuat kita kesal dan kemudian berlaku tak jelas dan penuh emosi, amarah.  Sejarah hidup kita saat ini adalah sebuah panggung perayaan hura-hura dari narasi omong kosong (pasacamodern) tentang ini ataupun tentang itu. Seolah-olah semuanya tampak begitu wah dan kita kagumi, tapi ternyata itu mengasingkan diri kita dari diri kita sendiri. Dan anak-anak muda jelas akan terasa bergelisahkarena eksistensi diri mereka saja mungkin sedang mereka pergulatkan mati-matian, dan sekarang harus ditambah menelan semua wajah kepalsuan dunia. Apa yang terjadi?
Inilah kepenatan dalam langkah-langkah hidup. Pertanyaan- pertanyaan yang terus saja menggema dalam dada dan mungkin malah mengganjal tidak karuan. Manusia sedang membutuhkan sebuah ruang spiritualitas agar selamat. Agar tak hilang diri tercuri tren ikut-ikutan. Walaupun semua kerja kita memang ikut-ikutan. Manusia membutuhkan ruh itu kembali: roti bagi santapan sehari-hari, bahasa bagi kemanusiaan kita, dan itu adalah puisi.
Inilah sebuah penunjuk Jalan (untuk) Pulang kepada diri sendiri—kepada yang kita tinggalkan karena keriuhan ikut-ikutan kita. Sebuah jalan pulang menuju rupa kegelisahan kita sebagai manusia. Inilah buku curahan perasaan khas manusia yang di dalamnya penuh rupa, penuh wajah, penuh harapan:
Menemaniku bermimpi, memeluk lekuk bibirmu menunggu ucapan
selamat pagi.
(Petikan dari Jalan Pulang –Agrita Widiasari)

hanya agar esok tetap terjadi—mungkin sama seperti catatan-catatan ini, atau mungkin saja berbeda. Kalaupun itu terjadi kita masih akan mengingatnya, pada seluruh debar rasa tak karuan ini, pada seluruh puisi yang telah tertorehkan ini.

1 komentar: